REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Rakyat Tunisia memberikan hak suaranya, Ahad (15/9). Mereka memilih 26 kandidat dalam pemilihan presiden demokratis kedua yang pernah terjadi di negara Afrika Utara itu.
Rakyat Tunisia harus memilih pemimpin yang dapat mengatasi pengangguran, korupsi, dan kemerosotan ekonomi. Pemungutan suara dilakukan setelah 12 hari masa kampanye yang singkat tapi ramai.
Para kandidat menuduh lawan mereka melakukan korupsi. Semua kandidat bersumpah meningkatkan perekonomian yang lesu dan melindungi negara itu dari serangan ekstremis.
Di banyak hal, Tunisia berbeda dengan negara-negara Arab lainnya. Mereka membangun demokrasi walaupun perekonomian merosot dan harus bertempur melawan ekstremis. Sebanyak 6.000 rakyat Tunisia dan pengawas internasional termasuk dari Uni Eropa dan Amerika Serikat datang ke pemungutan suara.
Lebih dari 100 ribu pasukan keamanan yang terdiri dari 70 ribu polisi dan 32 ribu tentara melakukan penjagaan. Sebanyak tujuh juta pemilih terdaftar memberikan hak suara mereka. Militer melakukan pengintaian yang ketat di perbatasan Aljazair dan Libya di mana kelompok radikal aktif menggelar aksinya.
Demi alasan keamanan, empat tempat pemungutan suara ditutup dua jam lebih awal. Badan yang bertanggung jawab atas pemilihan mengatakan hanya 16,31 persen pemilih di daftar yang berpartisipasi.
Belum diketahui siapa yang akan unggul dalam pemilihan ini. Banyak kandidat yang unggul dalam jajak pendapat, termasuk raja media yang dipenjara karena pencucian uang Nabil Karoui. Ia diizinkan mengikuti pemilihan umum karena belum pernah dipenjara.
Perdana Menteri Youssef Chahed juga menarik perhatian. Ia menyelamatkan negara dari kebangkrutan dalam tiga tahun masa jabatannya. Indikator ekonomi menunjukkan tanda-tanda perbaikan.