Senin 16 Sep 2019 12:00 WIB

Pajak Minyak dan Kota-Kota Islam Bertaburan Cahaya

Saat itu ladang-ladang minyak tersebar luar di Dunia Islam.

Indahnya kota Cordoba dari tepi sungai Al-Wadi al-Kabir, yang dilafalkan orang Spanyol sebagai Guadalquivir.
Foto: Lonelyplanet.com
Indahnya kota Cordoba dari tepi sungai Al-Wadi al-Kabir, yang dilafalkan orang Spanyol sebagai Guadalquivir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejarawan Muslim dari abad ke-10 M, Al-Mas’udi mencatat tentang ladang-ladang minyak yang tersebar luas di daratan negeri Muslim. Sang sejarawan menyaksikan sumur-sumur minyak ter serak di Sicilia, Oman, Hadramaut, Irak, Persia, Turkmenistan, Taskent, India dan di wilayah Pulau Sumetera.

Ia begitu takjub dengan jumlah minyak yang diproduksi negaranegara Muslim, kala itu. Ia menyebut negeri-negeri itu sebagai bilad al-naffata alias ‘negeri minyak’.

Baca Juga

Kekhalifahan Islam mulai menerapkan pajak minyak pada saat Khalifah Abbasiyah, Al-Mansur (754-775) memberlakukan pungutan atas produksi minyak. Itulah pajak pertama yang diberlakukan atas produksi minyak dan hingga kini masih tetap berlaku di seantero dunia.

Begitu melimpahnya produksi minyak yang dihasilkan, Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad mengangkat wali al-naft atau pengelola minyak di setiap daerah yang memproduksi minyak.

Pada abad ke-9 M, ilmuwan Muslim bernama Muhammad Al- Razi (864-925) telah berhasil memproduksi minyak tanah untuk lampu dan pemanas.

Dalam kitab yang ditulisnya berjudul Kitab Al-Asrar— Rhazes begitu orang Barat menyebutnya ñ telah mengungkapkan dua metode penyulingan untuk membuat minyak tanah. Metode penyulingan pertama menggunakan tanah liat dan yang kedua menggunakan ammonium khlorida.

Penyulingan itu dilakukan berulang-ulang sampai hasil sulingan benar-benar bersih dan amat digunakan untuk lampu. Minyak tanah bisa digunakan apabila pecahan hidrokarbon sudah menguap.

Minyak tanah untuk lampu telah digunakan perabadan Muslim di zaman keemasan lebih dari 1.000 tahun sebelum masyarakat Barat mengenalnya. Itu berarti negeri-negeri Barat masih dicengkram gelapgulita, ketika kota-kota Islam bertabur cahaya di waktu malam.

Pada abad ke-10, kota Cordoba –– Eropa Muslim –– telah terangbenderang di malam hari. Di era kepemimpinan Khalifah Abdurrahman II (912-976), Masjid Cordoba saja diterangi 4.700 lampu dan menghabiskan minyak sekitar 11 ton per tahunnya. Para sejarawan juga melukiskan, jalan-jalan di Cordoba yang mulus dan licin pada malam hari terang-benderang bertaburkan cahaya lampu.

Proses penyulingan yang digunakan untuk memproduksi minyak tanah sudah mulai sempurna pada abad ke-9 M. Minyak tanah di dunia dikenal dengan nama naft abyad atau minyak putih.

Seorang sarjana terkemuka dari Persia di abad ke-15 M, Abu Tahir Al-Fayruzabadi dalam catatan perjalannya berjudul Al- Qamus Al-Muhit menuturkan bahwa minyak terbaik adalah minyak putih.

Sang pengembara itu juga menuturkan bahwa minyak tanah untuk bahan bakar lampu pada masa itu telah dijual bebas, laiknya obat. Abu Tahir juga mengungkapkan bahwa industri minyak sudah berjalan dengan pesat. Begitulah dunia Islam memulai produksi minyaknya di abad ke-7 M. Hingga kini, dunia Islam masih menjadi produsen utama minyak bumi alias bahan bakar fosil. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement