REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Penetapan tersangka aktivis hak asasi manusia (HAM) Veronica Koman oleh Polri mendapat perhatian serius dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Komisi Tinggi HAM PBB (OHCHR) mendesak Pemerintah Indonesia melindungi Veronica, dan melepaskan status tersangka terhadap pengacara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) itu.
Desakan perlindungan terhadap Veronica itu disuarakan sejumlah ahli PBB di OHCHR, pada Senin (16/9). Mereka antara lain Clemen Nyaletsossi dari Togo yang selama ini menjadi pelapor khusus tentang hak untuk berkumpul dengan damai. Kemudian David Daye dari Amerika Serikat (AS), pelapor khusus perlindungan hak atas kebebasan berpendapat dan Dubravka Simonovic dari Kroasia, pelapor kekerasan terhadap perempuan.
Selain itu ada nama Meskerem Geset Tachane dari Ethiopia, yang selama ini dipercaya sebagai ketua kelompok kerja antidiskriminasi terhadap perempuan dan anak, serta Michael Forst dari Prancis, pelapor khusus tentang situasi penegakan HAM internasional.
Para ahli itu mengatakan, penetapan tersangka dan upaya pemidanaan terhadap Veronica adalah bentuk pembungkaman terhadap hak untuk kemerdekaan berpendapat, dan berekspresi, serta menyampaikan informasi yang seharusnya dilindungi.
“Kami menyambut baik tindakan yang diambil oleh pemerintah (Indonesia) dalam insiden rasisme (terhadap mahasiswa Papua di Surabaya). Tetapi kami mendesak Indonesia untuk mengambil langkah segera untuk melindungi Veronica Koman dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi dengan melepaskan status tersangka serta semua tuduhan terhadapnya atas laporan independen yang ia sampaikan tentang situasi hak asasi di Indonesia,” begitu tulis para ahli, seperti dikutip dari laman resmi OHCHR, Senin (16/9).
Para ahli juga mengatakan, penghakiman terhadap Veronica Koman yang kelewat batas dilakukan oleh pemerintah dan para individu, melalui media dan daring lantaran aktivitasnya mengabarkan tentang dugaan pelanggaran hak asasi di Papua dan Papua Barat.
Para ahli, pun menebalkan keprihatinan yang serius atas upaya pemerintah dan kepolisian Indonesia, untuk mencabut paspor, dan melakukan pemblokiran rekening pribadi Veronica, serta menjadikan aktivis asal Medan, Sumatera Utara (Sumut) itu sebagai orang yang dicari dengan penerbitan red notice.
"Kami menyerukan langkah-langkah segera untuk memastikan perlindungan kebebasan berekspresi dan mengatasi tindakan pelecehan, intimidasi, campur tangan, pembatasan yang tidak semestinya, dan ancaman terhadap mereka yang melaporkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia,” kata para ahli.
Kepolisian Daerah di Jawa Timur (Polda Jatim), pekan lalu menetapkan Veronica sebagai tersangka terkait insiden di asrama Papua Surabaya. Polri menuduh Veronica telah menyampaikan kabar bohong, dan berita palsu lewat media sosial (medso), atas insiden evakuasi mahasiswa Papua di asrama Jalan Kalasan tersebut.
Polri mengatakan, dugaan penyimpangan informasi tersebut memicu gelombang massa yang berujung kerusuhan di Papua dan Papua Barat, sejak Senin (19/9).
Polri pun menebalkan tuduhan tambahan kepada Veronica yang kerap menyiarkan tayangan aksi unjuk rasa dan kerusuhan yang terjadi di Papua dan Papua Barat.
Penetapan tersangka terhadap Veronica itu, berlanjut dengan penerbitan red notice dari Polri kepada Interpol, lantaran Veronica terdeteksi ada di Australia. Penerbitan red notice tersebut berbarengan dengan permintaan kepolisian kepada pemerintah untuk mencabut paspor, dan melakukan blokir rekening pribadi Veronica.