Selasa 17 Sep 2019 06:09 WIB

Soal Dewan Pengawas KPK Alot di DPR

Ketiga pimpinan KPK serahkan pengelolaan kepada presiden

Rep: Arif Satrio Nugroho, Ali Mansur/ Red: Muhammad Subarkah
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo bersama Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dan Pimpinan KPK terpilih Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, Alexander Marwata, Nurul Ghufron dan Nawawi Pomolango saat diperkenalkan pada rapat paripurna masa persidangan VIII DPR Tahun 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/4).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo bersama Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dan Pimpinan KPK terpilih Firli Bahuri, Lili Pintauli Siregar, Alexander Marwata, Nurul Ghufron dan Nawawi Pomolango saat diperkenalkan pada rapat paripurna masa persidangan VIII DPR Tahun 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR dan pemerintah masih belum bersepakat soal mekanisme penunjukan dewan pengawas dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sebagian anggota dewan berkeras, pemilihan dan penetapan dewan pengawas harus menyertakan peran DPR sebagai legislatif.

Selain dewan pengawas, menurut anggota Panitia Kerja (Panja) Revisi UU KPK, Arsul Sani, DPR bisa menyetujui usulan pemerintah lainnya dalam RUU KPK. \"Secara umum saja saya sampaikan, rasanya semua yang menjadi catatan dan itu tertuang dalam DIM (daftar inventaris masalah)-nya pemerintah, itu DPR setuju kecuali dewan pengawas,\" kata politikus PPP itu di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (16/9).

Dalam rancangan perubahan UU KPK yang dirumuskan DPR, lima anggota dewan pengawas dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh presiden melalui panitia seleksi. Artinya, proses seleksi dewan pengawas itu akan sama dengan proses pemilihan komisioner dan ketua KPK.

Dalam draf RUU KPK usulan DPR, dewan pengawas ini nantinya memiliki kewenangan yang luas. Di antaranya penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan yang akan dilakukan penyidik KPK harus mendapatkan izin tertulis dewan pengawas terlebih dulu. Dewan pengawas juga bisa tak memberi izin atas permintaan proses itu oleh penyidik KPK.

Pihak KPK, para mantan pimpinan KPK, pegiat antikorupsi, serta pakar hukum menilai keberadaan dewan pengawas ini tak diperlukan di KPK. Pasalnya, mekanisme pengawasan internal terkait proses penyelidikan dan penyidikan di KPK disebut sudah efektif. Selain itu, sebagian juga memertanyakan siapa nantinya yang akan mengawasi dewan pengawas yang memiliki kewenangan besar tersebut.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya menyampaikan bahwa ia menyetujui adanya dewan pengawas dengan alasan banyak lembaga selain KPK juga diawasi. Kendati demikian, Jokowi menginginkan proses pemilihan dan pengangkatan dewan pengawas sepenuhnya di bawah presiden. Jokowi juga mengusulkan, dewan pengawas tak boleh anggota lembaga/institusi negara, tetapi sepenuhnya dari elemen masyarakat.

Arsul menekankan, substansi revisi UU KPK lainnya yang juga diusulkan pemerintah, seperti penempatan pegawai KPK sebagai ASN hingga kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3) di KPK, bisa disepakati.

Badan Legislasi dan DPR RI resmi meloloskan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Kamis (12/9). Pemerintah kemudian memberikan masukan dan daftar inventaris masalah dalam rapat tersebut. DPR kemudian membentuk Panja Revisi UU KPK yang menggelar rapat perdana pada Jumat (13/9) untuk membahas masukan pemerintah. Rapat tersebut dilanjutkan kemarin.

Anggota Komisi III DPR, Muslim Ayub, adalah salah satu yang menolak wacana dewan pengawas dibentuk oleh presiden. "Harusnya pembentukan dewan pengawas bukan hanya oleh presiden, tapi mestinya mewakili semua unsur, ada legislatif, eksekutif, dan yudikatif," kata politikus Partai Amanat Nasional itu, Senin (16/9).

Menurut dia, jika dewan pengawas mewakili tiga unsur tersebut, mereka akan bekerja efektif dalam menuntaskan persoalan korupsi di Tanah Air. Ia mengatakan, dalam lembaga tinggi Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung juga terdapat unsur legislatif.

Menurut dia, PAN bakal menarik diri dari pembahasan RUU KPK jika dewan pengawas tidak menyertakan unsur eksekutif, legislatif, dan yudikatif. "Jika dewan pengawas seluruhnya ditunjuk langsung oleh presiden tanpa melibatkan tiga unsur tersebut, akan melemahkan KPK, maka PAN akan menarik diri dari revisi UU KPK," kata dia.

Presiden Jokowi menyatakan, pemerintah saat ini tengah memperjuangkan poin-poin dari revisi UU KPK.

"Saat ini, pemerintah sedang bertarung memperjuangkan substansi-substansi yang ada di revisi UU KPK yang diinisiasi oleh DPR seperti yang sudah saya sampaikan beberapa waktu yang lalu. Jadi, bisa saya sampaikan, KPK itu lembaga negara, institusi negara. Jadi, bijaklah dalam kita bernegara," ujar Jokowi di Hotel Sultan, Jakarta, Senin (16/9).

Menurut dia, KPK saat ini masih dalam posisi terkuat dalam hal pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, Jokowi meminta agar seluruh pihak, termasuk KPK, turut mengawasi bersama-sama proses revisi UU KPK di DPR.

Lebih lanjut, terkait dengan rencana pertemuan dengan para pimpinan KPK, Jokowi menyerahkan kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno untuk mengaturnya. "Tanyakan Mensesneg, ada, enggak, pengajuan itu? Kalau ada, tentu akan diatur waktunya dengan acara yang ada di Presiden," ujar dia.

Sebelumnya, tiga pimpinan KPK menyatakan akan menyerahkan pengelolaan KPK kepada Presiden Jokowi. Hal ini dilakukan lantaran mereka kecewa terhadap revisi UU KPK. Ketiga pimpinan tersebut yakni Ketua KPK Agus Rahardjo dan dua wakilnya, yakni Laode M Syarif serta Saut Situmorang.

Agus Rahardjo kemarin menyatakan, sembari menunggu jawaban Presiden atas penyerahan mandat pengelolaan itu, KPK akan tetap bekerja seperti biasa. “Kita tetap bekerja seperti biasa, kita menunggu. Ya, kita menunggu saja memang. Seperti hari ini kita masih melantik. Kita menunggu aja," ujar Agus Rahardjo di gedung KPK, Senin (16/9).

Hal yang sama disampaikan Juru Bicara KPK Febri Diansyah, kemarin. "Di tengah berbagai serangan pada KPK akhir-akhir ini, kami akan tetap berupaya menjalankan tugas sebaik-baiknya. Meskipun tidak mudah, tapi hal tersebut kami sadari sebagai amanat yang harus dijalankan," kata Febri Diansyah, kemarin.

Terkait dengan pelaksanaan tugas pimpinan KPK, Febri menyampaikan, sebagaimana diatur pada Pasal 32 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pemberhentian pimpinan KPK dilakukan dengan alasan-alasan yang terbatas. Pemberhentian itu pun baru efektif berlaku bila presiden menerbitkan keputusan presiden.

"Oleh karena itu, sembari menunggu tindakan penyelamatan KPK dari Presiden, terutama terkait revisi UU KPK yang semakin mencemaskan, maka KPK terus menjalankan tugas dan amanat UU," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement