REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komite Perjanjian Perdagangan Bebas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Wahyuni Bahar mengatakan, ekspor kakao Indonesia kurang kompetitif jika dibandingkan dengan kakao negara lain yang juga diekspor ke Eropa. Selain itu, ekspor kakao juga terganjal hambatan tarif masuk.
Kendala-kendala tersebut dinilai karena adanya persoalan dengan proses standar nasional Indonesia (SNI), dia menyebut bahwa pemeriksaan SNI yang ada saat ini tidak dilakukan seusai dengan standard operational procedure (SOP).
"Produk kakao Indonesia masih dikenakan biaya masuk 4-5 persen oleh Eropa. Berbeda dengan negara-negara produsen lainnya yang pengenaan tarif masuknya kecil, bahkan tak dikenakan biaya masuk, nol persen. Seperti Pantai Gading dan Ghana yang menduduki peringkat teratas dalam ekspor kakao dunia," kata Wahyuni, di Hotel Sahid, Jakarta, Selasa (17/9).
Tak sedikit juga, kata dia, produk kakao Indonesia ditolak di negara-negara Eropa saat ingin masuk. Hal itu lantaran setelah dilakukan pengecekan, penolakan yang terjadi dilandasi kualitas produk yang banyak cacat alias tak sesuai standar Eropa. Maka itu dia minta pembenahan sistem SNI di dalam negeri perlu dibenahi lebih lanjut.
Di sisi lain dia melihat, kualitas kakao Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan kedua negara tersebut. Terlebih, kakao dari kedua negara itu sudah dilengkapi dengan sertifikasi-sertifikasi yang diakui oleh Eropa. Menurutnya, biji kakao Indonesia saat ini masih cenderung mengandung kadmium yang cenderung jarang dijadikan bahan baku utama coklat.
Karena itu, dia meminta kepada pemerintah untuk melakukan pembinaan kepada petani kakao agar bisa meningkatkan hasil panen dan daya saing produk. Hasil kakao Indonesia selalu turun dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) yang mengacu pada data Kementerian Pertanian (Kementan), produksi kakao Indonesia sepanjang 2012-2017 terus mengalami penurunan.
Produksi kakao pada 2012 tercatat sebesar 740.500 ton dan terus mengalami penurunan hingga sebanyak 659.776 ton pada 2017. Sebagai catatan, data yang bersumber dari Kementan ini masih dipertanyakan keabsahannya. Sedangkan jika mengacu pada data dari Dewan Kakao Indonesia (Dekaindo), produksi kakao Indonesia pada 2018 hanya mencapai 365 ribu ton. Adapun pada 2017, produksi kakao Indonesia hanya tercatat sebesar 300 ribu ton.
Menurut Wahyuni, tren penurunan produkai kakao ini disebabkan karena tidak adanya revitalisasi terhadap pohon-pohon kakao yang sudah tua, yang menjadikan pohon tersebut juga rentan terjangkit hama dan penyakit tanaman yang mudah tertular ke tanaman lain dalam waktu singkat.
Kendala lainnya, kata dia, adalah minimnya transfer teknologi di perkebunan kakao dan industri pengolahan kakao yang sudah terbuka 95 persen, penggunaan mesin impor oleh industri pengolahan kakao, serta tidak adanya insentif khusus untuk investasi di perkebunan kakao dan industri pengolahannya.
Untuk mengatasi kendala tersebut, Wahyuni menganjurkan kepada pemerintah untuk segera menegosiasikan bea masuk kakao Indonesia agar menjadi nol melalui perjanjian dagang. Sehingga, produk ekspor kakao Indonesia bisa bersaing di Eropa.
Peneliti Bidang Pangan dari CIPS Felippa Amanta menilai, Eropa memang menerapkan standar yang ketat dalam menentukan barang masuk ke negaranya. Hanya saja hal itu dinilai bukan sebuah hambatan yang tak bisa dilalui pemerintah. Menurut dia untuk mendongkrak neraca perdagangan, pemerintah perlu melakukan sejumlah reformasi kebijakan dari hulu hingga hilir perdagangan.
Di sisi produksi misalnya, kata dia, pemerintah perlu menjadi penengah atas sejumlah permasalahan yang dihadapi petani. Tanpa pendampingan yang terukur terhadap petani serta akses modal yang minim, sulit bagi produktivitas kakao di Indonesia dapat tergenjot maksimal.
"Kalau petaninya didampingi secara serius, diberi akses permodalan atau dihubungkan dengan perbankan, mereka (petani) bisa melakukan perawatan pohon-pohonnya karena ada modal. Karena sulit sekali jika mengharapkan produksi yang tinggi dari kondisi pohon-pohon kakao yang sudah berusia 35 tahun," ungkapnya.
Pemerintah juga dinilai perlu melakukan upaya diplomasi dan negosiasi dagang yang lebih agresif lagi. Sebab jika dibandingkan negara-negara tetangga lainnya, perjanjian atau kerja sama dagang Indonesia masih belum maksimal tercapai.
Kasubdit Eropa dari Direktorat Perundingan Bilateral Ditjen Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Dina Kurniasari mengatakan, pemerintah terus berupaya melakukan perjanjian dan kerja sama dagang dengan sejumlah negara. Baik itu berupa FTA maupun Cepa. Untuk Eropa, kata dia, pemerintah masih melakukan proses perundingan kerja sama yang ditargetkan bakal rampung awal 2020 nanti.
"Ya kita harapkan dengan I-EU Cepa nanti Indonesia bisa dapat kemudahan-kemudahan dagang, salah satunya tarif. Tapi memang saya setuju Bahwa kualitas produksi dan daya saing komoditas harus ditingkatkan," pungkasnya.