REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengutuk dua serangan bom bunuh diri di Kota Charikar, Parawan, Afghanistan, Selasa (17/9). Insiden itu menyebabkan sedikitnya 30 orang meninggal dan puluhan lainnya luka.
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric mengatakan Guterres mengungkapkan rasa simpati mendalam kepada para korban dan seluruh rakyat serta pemerintah Afghanistan. Mengingat serangan bom itu terjadi saat Afghanistan hendak menghelat pesta demokrasi, yakni pemilihan presiden pada 28 September mendatang.
Dujarric berpendapat, serangan terhadap warga sipil tak akan pernah bisa diterima. “Mereka yang melakukan kejahatan semacam itu harus bertanggung jawab,” kata dia, dikutip laman Anadolu Agency.
“Sekretaris Jenderal menggarisbawahi semua warga Afghanistan, apakah pemilih, kandidat, atau staf terkait pemilu, memiliki hak untuk bebas dari rasa takut, intimidasi, dan kekerasan,” ujar Dujarric.
Serangan bom pada Selasa membidik masa kampanye Presiden Afghanistan Ashraf Ghani. “Wanita dan anak-anak termasuk di antara korban dan sebagian besar korban tampaknya warga sipil. Ambulans masih beroperasi. Jadi jumlah korban mungkin bertambah,” ungkap juru bicara gubernur Parawan, Wahida Shakar.
Beberapa jam setelah serangan pertama, bom kembali meledak di dekat Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Kabul. Puluhan korban dilarikan ke rumah sakit pascaperistiwa tersebut.
Kelompok Taliban mengklaim bertanggung jawab atas dua serangan bom tersebut. Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengatakan pemboman di Parawan membidik anggota atau personel pengawal Ghani.
Namun, belum diketahui alasan mengapa bom kedua diledakkan di dekat Kedubes AS. Sejak tahun lalu, Taliban dan AS telah menjalin perundingan damai. Tapi pekan lalu, Presiden AS Donald Trump memutuskan menghentikan pembicaraan tersebut.
Hal itu dilakukan setelah Taliban mengaku bertanggung jawab atas serangan bom di Kabul dua pekan lalu. Sebanyak 12 orang tewas, termasuk satu tentara AS. Taliban telah memperhatikan keputusan Trump menghentikan sepihak pembicaraan damai hanya akan menambahkan kerugian AS.
Sejak 2001, militer AS telah menjadi sekutu Afghanistan dalam memerangi Taliban. Mereka tak hanya membantu menggempur basis-basis Taliban melalui serangan udara, tapi juga memberikan pelatihan kepada para tentara Afghanistan.