REPUBLIKA.CO.ID, NIKOSIA -- Partai sayap kanan di Republik Siprus, Elam, pada Selasa (17/9) mengumumkan bahwa mereka telah mengajukan rancangan undang-undang (RUU) yang akan memberlakukan larangan pada semua penutup kepala Muslim di ruang publik, termasuk sekolah. Kendati begitu, RUU tersebut disebut tidak mungkin mendapat banyak dukungan di parlemen.
Dalam sebuah pernyataan, Partai Elam berdalih bahwa RUU tersebut diajukan menyusul melonjaknya terorisme Islam di Eropa bersamaan dengan meningkatnya kriminalitas di Siprus dalam beberapa tahun terakhir yang telah mengganggu rasa damai dan aman masyarakat.
Dikatakan, bahwa tujuan dari proposal hukum itu adalah untuk melarang penutup wajah dengan pakaian Islami di tempat umum dan di pusat-pusat pendidikan.
"Undang-undang tersebut akan memungkinkan pengakuan identitas seseorang yang bergerak di antara orang lain," demikian pernyataan Elam, seperti dilansir di Cyprus Mail, Rabu (18/9).
Elam mengutip keputusan Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia, yang memutuskan bahwa "pembatasan itu memastikan kondisi koeksistensi sosial sebagai elemen perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain," dan karenanya dapat dianggap perlu dalam masyarakat demokratis.
Partai tersebut menambahkan, bahwa RUU itu juga bertujuan untuk kesetaraan gender. Pasalnya, mereka beranggapan bahwa jilbab merupakan produk dari penindasan, yang melambangkan penyerahan perempuan dan posisi mereka yang kurang beruntung dibandingkan dengan laki-laki.
Menurut wakil juru bicara Elam Sotiris Ioannou, RUU itu akan memberlakukan pelarangan semua pakaian Islami, terutama pakaian yang menutup wajah. Namun aturan ini tidak membedakan antara beberapa variasi dari penutup kepala Muslim. Misalnya, antara jilbab yang menutupi kepala dan leher tetapi tetap memperlihatkan wajah, dan burqa yang menutupi semua wajah dan tubuh.
"RUU itu diajukan untuk pemulihan hukum, ketertiban, dan kesejahteraan, dan untuk kesetaraan gender," kata Ioannou.
Saat ditanya oleh Cyprus Mail soal dalam hal apa jilbab yang hanya menutupi rambut seorang wanita dapat menjadi ancaman bagi keamanan, Ioannou lantas memiliki dalihnya sendiri.
"Seperti ketika saya memasuki bank, dan saya diminta melepas topi saya karena itu menutupi kepalaku. Jilbab juga menyembunyikan area kepala yang luas," ujarnya.
Ia menambahkan, bahwa RUU itu mirip dengan undang-undang yang sudah diterapkan di sekolah-sekolah di luar negeri, di mana semua penutup kepala Islami dilarang. Akan tetapi, ia mengatakan bahwa RUU tersebut juga memperluas larangan ini ke semua ruang publik.
Langkah ini dilakukan setelah pemakaian jilbab, khususnya di sekolah-sekolah, menjadi sorotan pada awal bulan ini ketika kepala sekolah dari sekolah menengah Nicosia memulangkan seorang gadis Muslim karena dia mengenakan jilbab. Kejadian tersebut mendapat kecaman dari kementerian pendidikan dan sebagian besar partai politik.
Namun, Elam justru menggunakan insiden itu untuk menyerang balik kementerian untuk tidak secara sama mengecam tindakan kepala sekolah dasar Nicosia yang meminta siswanya untuk melepaskan perhiasan yang membawa salib Kristen. Kepala sekolah yang bersangkutan lantas mengklarifikasi bahwa ia meminta perhiasan itu dilepas untuk alasan keamanan, sesuatu yang ia katakan memastikan setiap siswa mengetahui.
Meskipun Elam tidak merinci keputusan pengadilan Eropa mana yang dirujuknya untuk mendukung langkahnya untuk menuntut larangan jilbab, ada beberapa kasus di mana Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa memutuskan bahwa larangan untuk penutup wajah di ruang umum yang disebut 'larangan burqa', agar tidak melanggar hak yang dilindungi oleh Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, dan khususnya Pasal 9 yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk mewujudkan agama atau kepercayaannya.
Kasus-kasus ini termasuk kasus larangan jilbab Turki pada 2004, serta kasus larangan jilbab dengan penutup wajah penuh di Perancis dan Belgia pada 2015 dan 2017. Meskipun begitu, posisi tetap ECHR mengenai masalah ini secara luas dikritik karena tidak memperhitungkan konteks tertentu dari larangan jilbab yang menopang setiap kasus.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara Eropa, termasuk Belanda, Jerman, Austria, Prancis, Belgia, Italia, Spanyol, Inggris, Denmark, dan Swiss telah mengambil tindakan untuk membatasi penggunaan cadar di muka umum.