Rabu 18 Sep 2019 17:54 WIB

Lulut Edi Santoso, Merawat Naskah, Menjaga Bukti Sejarah

Kumpulan manuskrip yang ditampilkan ini tidak lepas dari hobinya.

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Lulut Edi Santoso, guru Seni dan Budaya di SMAN 3 Kota Malang dengan koleksi manuskripnya.
Foto: Foto: Wilda Fizriyani/Republika
Lulut Edi Santoso, guru Seni dan Budaya di SMAN 3 Kota Malang dengan koleksi manuskripnya.

REPUBLIKA.CO.ID, Di tengah suatu lobi nampak seorang pria setengah baya tengah membolak-balikkan sebuah kumpulan kertas. Kertas itu berwarna kuning, bahkan terlihat sangat lapuk sehingga perlu kehati-hatian saat menyentuhnya.

Pria yang tengah berdiri di lantai satu Perpustakaan Kota Malang itu tidak lain bernama Lulut Edi Santoso. Guru Seni dan Budaya di SMAN 3 Kota Malang itu telah cukup dikenal bagi kalangan sejarawan. Ia merupakan pecinta manuskrip kuno yang kini tengah memamerkan koleksinya ke hadapan publik. 

Di etelase sederhana, Lulut menyajikan 10-an manuskrip kuno kepada para pengunjung Perpustakaan Kota Malang. Itu hanya sebagian, karena lainnya masih tersimpan baik di kediamannya. Fasilitas yang diberikan memang terbatas karena jadwal persiapannya juga sangat dekat.

"Saya baru diajak ngobrol dua hari lalu, saya bingung jadi menyiapkan seadanya, termasuk etelase ini mendadak pinjam dari Pasar Klojen, termasuk menatanya. Semuanya sangat terbatas, buku yang dibawa juga terbatas," kata pria yang kini berusia 54 tahun tersebut, saat ditemui Republika di Perpustakaan Kota Malang, Rabu (18/9).

Adapun 10 manuskrip yang dipamerkan, beberapa di antaranya berbahan kertas daluwang. Daluwang berarti kertas tradisional yang dibuat dari kulit kayu. Sebagian lainnya adapula yang memakai kertas Eropa dan sebagainya.

Lebih detail, Lulut turut menampilkan koleksi manuskrip Quran yang ditulis di atas daluwang. Koleksi ini diperoleh dari Mataram bersamaan dengan naskah tasawuf Islam. Dia juga mempunyai Babad Demak, Jenggala, dan Kerajaan Panjalu.

Selain itu, ia juga menghadirkan dua jenis tulisan perhitungan primbon. Pertama, naskah yang ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa. Sementara primbon jenis lainnya ditulis dalam bahasa Belanda.

"Terus ada Babad Tong Tya yang berisikan kisah daratan Cina dalam bahasa Jawa," tambah pria berbaju putih tersebut.

Dia berharap, koleksi yang ditampilkan ini dapat memberi manfaat kepada masyarakat. Para generasi muda bisa terdorong untuk mempelajari sejarah Nusantara, Hindia-Belanda dan Indonesia. Yang pasti, dia berharap, kesenangannya dalam melestarikan budaya Indonesia dapat tertularkan ke lainnya.

Lulut bercerita, kumpulan manuskrip yang ditampilkan ini tidak lepas dari hobinya. Kesenangannya mengoleksi manuskrip kuno telah dimulai sejak 2008 atau 2009. Lebih tepatnya ketika dirinya sudah memeroleh tunjangan sertifikasi guru. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement