REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah dan DPR RI mendengarkan masukan untuk pasal yang memuat isu krusial dalam RKUHP setelah pemerintah mengajukan penundaan pengesahan RKUHP.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan Komnas HAM mengapresiasi penundaan yang sejalan dengan permintaan yang berulang kali disampaikan lembaga itu.
"Poin-poin kritis yang kami sampaikan, kami harap jadi masukan penting dalam revisi setelah penundaan," tutur Taufan dihubungi di Jakarta, Jumat (20/9).
Isu krusial dalam RKUHP versi 15 September 2019 yang disoroti Komnas HAM antara lain kecenderungan ancaman pidana pada pidana khusus seperti pelanggaran HAM, terorisme, korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan narkotika lebih singkat.
Untuk pemidanaan HAM berat, Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia mengatur ancaman pidana penjara adalah minimal 10 tahun dan paling lama 25 tahun, sedangkan pada RKUHP diatur ancaman pidana penjara hanya minimal 5 tahun dan paling lama 20 tahun.
Selanjutnya, RKUHP belum mengadopsi secara tepat pengertian makar yang sesuai dengan makna aslinya sehingga proses pemidanaan tindak pidana itu berpotensi disalahgunakan atau multitafsir. Selain itu, dalam pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, Komnas HAM menilai kategori tindakan penyerangan yang dapat menyerang harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden sebagai individu manusia dengan pembedaan penyerangan terhadap konsekuensi dari jabatannya tidak jelas.