REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyebut perlambatan ekonomi tidak terlalu berdampak pada investasi di industri hiburan dalam negeri. Bisnis fesyen, aplikasi dan game, film dan musik masih menarik bagi para investor.
“Tidak terlalu memengaruhi meski saya melihat dari jumlah investasi untuk layar bioskop tidak cukup berkembang,” ujar Direktur Pemasaran Luar Negeri Bekraf Boni Pudjianto ketika dihubungi Republika, Ahad (22/9).
Berdasarkan data Bekraf, rasio perbandingan layar dengan populasi penduduk di Indonesia masih sangat rendah, yakni 100.000:0,4. Jauh dengan Amerika Serikat yang rasionya mencapai 100.000:14, Cina dengan 100.000:1,8, bahkan Malaysia yang sudah mencapai 100.000:2,4.
“Artinya masyarakat Indonesia tampak memerlukan industri hiburan,” ucapnya.
Data filmindonesia.or.id menunjukkan, sebanyak 70 persen bioskop dan layar berada di Pulau Jawa. Upaya dalam mendongkrak jumlah layar di Indonesia sendiri sudah dilakukan.
Tepatnya, pada 2015 ketika usulan Bekraf untuk mencabut film dari Daftar Negatif Investasi diterima oleh presiden. Sejak saat itu, dengan banyaknya investor asing yang masuk, membuat pertumbuhan jumlah layar meningkat hampir dua kali lipat.
Kendati demikian, menurut Budi, industri hiburan seperti kuliner, musik dan kriya masih cukup menjanjikan di Indonesia.