REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan polusi udara di Kota Pekanbaru makin memburuk dan berbahaya. Kabut asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatra dan Kalimantan tampak cenderung menumpuk di Ibu Kota Provinsi Riau itu.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Agus Wibowo, menyatakan bahwa asap di Riau merupakan gabungan asap karhutla dari Kalimantan dan Sumatra. Asap di Sumatra berasal dari Sumatera Selatan (Sumsel), Jambi, dan Riau sendiri. Agus menjelaskan, pergerakan asap yang terbawa angin itu jelas terlihat dari pantauan ASMC (Asean Specialized Meterogical Centre).
"Tidak heran jika kondisi asap di Riau parah dan kualitas udara juga dalam kondisi bahaya," katanya ketika dihubungi dari Pekanbaru, Senin.
Dua ekor burung bertengger di atas tiang lampu penerangan jalan dengan latar belakang matahari yang terlihat samar akibat pekatnya kabut asap karhutla di Pekanbaru, Riau, Minggu (22/9/2019).
Indeks polutan di Pekanbaru pada Ahad malam (22/9) sudah tembus angka 700. Angka itu lebih tinggi dari waktu tahun 2015, yang tercatat di angka 600-an.
Hingga Senin pagi angka polutan berkisar 500 hingga 700 dan cenderung berfluktuatif. Angka tersebut jauh di atas kategori berbahaya polusi udara, yang selama ini ditetapkan standar di angka 300.
Hal ini membuat Gubernur Riau Syamsuar menetapkan status darurat pencemaran udara akibat karhutla yang berlaku hingga akhir September. Masa status darurat, berlaku mulai 23 September hingga 30 September.
"Mulai hari ini kita tetapkan keadaan darurat pencemaran udara di Provinsi Riau," kata Syamsuar di Kota Pekanbaru, Senin pagi.
Apabila kondisi masih belum berubah maka status akan diperpanjang berlakunya. Syamsuar pun berharap kondisi segera berubah.
"Kita akan lihat perkembangan, semoga ada perubahan, hujan segera turun," kata Syamsuar yang juga menjabat Komandan Satuan Tugas Kahutla Riau itu.