REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Afghanistan mengenalnya dengan sebutan kehormatan `Mawlana’. Orang Iran memanggilnya dengan sapaan `Mawlawi’. Sedangkan, di Turki, Rumi dijuluki dengan sebutan `Mevlana’.
Namun, menurut Prof Hamka, nama lengkap sang tokoh itu adalah Jalaluddin Muhammad bin Muhammad bin Husin Al Khatihbi Al Bakri. Ia terlahir di Balkh, Afghanistan, pada 30 September 1207 M/604 H.
Rumi menjadi nama bekennya. Sebab, ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Konya, Turkidahulu, wilayah itu dikenal dengan nama Rum (Roma).
Ayah Rumi adalah seorang ulama besar bergelar Sulthanul Ulama (Raja Ulama). Sejak kecil, Rumi hidup berpindah-pindah bersama keluarganya. Rumi pernah bermukim di Sinabur, sebelah timur laut Iran. Lalu, hijrah lagi ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda, dan akhirnya menetap di Konya, Turki. Di kota itu, Raja Konya, Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihat kerajaan.
Tak hanya itu, raja Konya juga memberi amanah kepada sang ayah untuk memimpin perguruan agama. Saat Rumi berusia 24 tahun, ayahnya tutup usia di Kota Konya.
Sang ayah adalah guru yang sangat penting bagi Rumi. Pengetahuannya yang begitu luas tentang ilmu agama diperolehnya dari sang ayah.
Guru lainnya yang penting dalam kehidupan Rumi adalah Burhanuddin Muhaqqiq
At Turmudzi sahabat sang ayah. Rumi tak hanya puas menimba ilmu di Konya. Atas saran sang guru, ia juga melanglang buana mencari ilmu hingga ke Syam (Suriah).
Menginjak usia 30 tahun, Rumi kembali ke Konya dan menyebarkan beragam ilmu yang dikuasainya. Rumi mulai menjadi guru setelah Burhanuddin tutup usia. Rumi pun mulai dikenal sebagai seorang ulama dan ahli hukum Islam. Madrasah yang dipimpinnya memiliki hampir 4.000 murid. Sebagai ulama terpandang, Rumi pun menjadi tempat bertanya masyarakat Konya.
Ia juga kerap kali mengeluarkan fatwa bila umat membutuhkannya. Perjumpaannya
dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin At Tabrizi, telah mengubah jalan hidupnya.
Ketika usianya menginjak 48 tahun, Rumi mulai memilih hidup sebagai seorang sufi. Rumi benarbenar mulai berubah. Ia sangat menghormati guru tasawufnya itu. Perlahan-lahan, Rumi mulai meninggalkan tugasnya sebagai seorang guru. Selain memilih hidup sebagai sufi, ia pun mulai menggubah puisi.
Sebagai kenangan atas jasa sang guru yang mengenalkannya dengan kehidupan sufistik, Rumi menulis sebuah buku berjudul Diwan Sham-i Tabriz.