REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Presiden Pakistan Arif Alvi meminta India menemukan solusi diplomatik untuk masalah Kashmir. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan guna menghindari adanya aksi perlawanan di wilayah tersebut.
"Jika India tidak muncul, yang saya takutkan adalah perlawanan di Kashmir oleh orang-orang Kashmir akan jauh lebih frustrasi. Ini akan menyebabkan lebih banyak kerumitan," ujar Alvi dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Hurriyet Daily News, Senin (23/9).
Dia berpendapat, selama ini India kerap menekan kelompok atau kalangan minoritas di negaranya. "Kashmir hanyalah perpanjangan dari apa yang terjadi di India dan saya yakin ini akan menjadi yang terburuk," katanya.
Alvi memperingatkan, jika otoritas India terus melakukan aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas, pemberontakan dapat terjadi, khususnya oleh populasi Muslim. Namun, dia pesimistis India akan mengurangi tindakan demikian.
Mengingat adanya ketegangan antara Pakistan dan India setelah status khusus Jammu-Kashmir dicabut pada 5 Agustus lalu, Alvi menegaskan negaranya tak akan berusaha memicu peperangan. Sebab risiko dari hal itu sangat berbahaya mengingat India dan Pakistan sama-sama memiliki senjata nuklir.
"Pakistan tidak akan memulai perang. Pakistan tidak memiliki niat perang. Namun Pakistan memiliki niat penuh mempertahankan diri," ujar Alvi.
Kashmir telah dibekap ketegangan sejak India mencabut status khusus wilayah tersebut pada 5 Agustus lalu. Masyarakat memprotes, kemudian menggelar aksi demonstrasi di beberapa daerah di sana. Mereka menolak status khusus dicabut karena khawatir dapat mengubah komposisi demografis Kashmir.
Kashmir merupakan satu-satunya wilayah di India yang berpenduduk mayoritas Muslim. Sejak merdeka dari Inggris pada 1947, Kashmir terpecah dua, dua pertiga di antaranya dikuasai India, sementara sisanya milik Pakistan. Wilayah itu kemudian dipisahkan dengan garis Line of Control (LoC). Perselisihan akibat sengketa Kashmir telah membuat India dan Pakistan tiga kali berperang, yakni pada 1948, 1965, dan 1971.