REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kericuhan yang terjadi di Wamena, Papua, diduga dipicu oleh ujaran rasialisme. Situasi di sana dikabarkan masih tegang hingga Senin (23/9) petang. Baik pendatang maupun warga asli Papua sama-sama mengevakuasi diri mereka masing-masing.
"Kejadian awal itu dari soal rasialisme. Jadi hari Jumat pekan lalu tanggal 20 itu salah satu sekolah di Wamena, entah dia sadar atau tidak, dia sampaikan (ujaran rasal) ke salah satu siswa," ujar aktivis Dewan Adat Papua, Domi Sorabut, melalui sambungan telepon, Senin (23/9).
Kemudian, kata dia, para siswa berharap pihak sekolah menindak oknum guru tersebut, seperti melakukan proses hukum contohnya. Namun, menurut Domi, yang terjadi adalah pihak sekolah tidak merespons dengan baik kejadian tersebut. Barulah kemudian mereka melakukan aksi ke jalan.
"Tujuan awalnya mereka mau demo damai ke pemerintah untuk sampaikan bahwa harus ditindak tegas pelaku yang menyampaikan ujaran rasisme itu, harus diproses hukum," kata Domi.
Namun, kata dia, anak-anak sekolah itu memiliki emosi yang belum stabil. Itu membuat mereka bertindak di luar kendali di jalan yang mereka lalui. Tindakan yang kemudian juga merambat ke mahasiswa dan masyarakat di sana. Kios, rumah, kendaraan, kampus, bahkan kantor menjadi korban tindakan tersebut.
"Semua hancur dibakar dan sampai terakhirnya itu dua kampus di bakar, sejumlah rumah, toko, dibakar bahkan kantor bupati," ujarnya.
Ia mengatakan, aparat keamanan tiba di lapangan sekitar pukul 13.00-14.00 WIT. Domi menyebutkan, situasi tegang masih terasa hingga petang. Masyarakat, pendatang maupun masyarakat asli Papua, sama-sama mengevakuasi diri mereka masing-masing.
Para pendatang, kata Domi, kebanyakan mengevakuasi diri mereka ke Polres atau Kodim. Sedangkan masyarakat asli Papua mengevakuasi diri mereka dengan berlari ke hutan yang ada di sekitar sana.
"Tegang. Masih tegang. Kan sudah ada korban juga toh puluhan jiwa. Belum bisa kita dapatkan (jumlah pastinya) karena masih tegang masing-masing jaga."