REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengimbau rencana-rencana demonstrasi menolak sejumlah rancangan UU lebih baik diurungkan. Ia beralasan RUU yang dipersoalkan telah ditunda pembahasannya.
"Saya betul-betul mengimbau rencana-rencana demonstrasi menyangkut penolakan RUU yang saat ini ditunda lebih baik diurungkan," kata Wiranto saat konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (24/9).
Menurut dia, Presiden telah mengambil sikap terhadap delapan RUU yang akan dibahas DPR dan rencananya disahkan sebelum masa bakti periode ini berakhir. Dari delapan RUU itu, kata dia, Presiden hanya menyetujui tiga RUU, yakni RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3), dan RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
"Yang lima (RUU) ditunda, yakni RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU Mineral dan Batubara (Minerba), dan RUU Ketenagakerjaan," katanya.
Wiranto menegaskan penundaan itu dilakukan bukan asal-asalan. Melainkan karena Presiden merasa perlu mendengarkan aspirasi, kepentingan, perhatian, dan opini rakyat.
"Ternyata masih ada beberapa pasal yang memerlukan pendalaman kembali, tidak grusa-grusu, tidak asal-asalan. Presiden telah memutuskan, terutama setelah kemarin bertemu dengan pimpinan dan anggota DPR," katanya.
Dengan penundaan itu yang didasarkan kebijakan pemerintah dengan lebih mendengarkan suara rakyat, lanjut dia sebenarnya demonstrasi-demonstrasi yang menjurus penolakan RUU Kemasyarakatan, RUU KUHP, RUU Minerba, dan RUU Ketenagakerjaan, tidak relevan lagi.
"Karena bisa diberikan masukan lewat jalur-jalur yang tidak perlu di jalanan. Yang lebih terhormat, etis, yakni dialog konstruktif, baik dengan DPR periode 2020-2024, atau dengan Pemerintah," katanya.
Demonstrasi, kata dia, justru menguras energi kita, membuat masyarakat tidak tentram, dan mengganggu ketertiban umum. Sehingga sebaiknya disampaikan secara baik apa yang menjadi masukan terhadap RUU itu.