Rabu 25 Sep 2019 00:05 WIB

Ini Tuntutan DPRD Papua dan Papua Barat ke Pemerintah

DPRD Papua dan Papua Barat ingin pemerintah berdialog dengan ULMWP dan KNPB.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Teguh Firmansyah
Warga mengungsi di Mapolres Jayawijaya saat terjadi aksi unjuk rasa yang berakhir rusuh di Wamena, Jayawijaya, Papua, Senin (23/9/2019).
Foto: ANTARA FOTO
Warga mengungsi di Mapolres Jayawijaya saat terjadi aksi unjuk rasa yang berakhir rusuh di Wamena, Jayawijaya, Papua, Senin (23/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perwakilan pimpinan DPRD kabupaten Papua dan Papua Barat melakukan audiensi dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. Mereka menyampaikan delapan poin aspirasi dari masyarakat Papua dan Papua Barat di hadapan Wiranto di Kemenko Polhukam, Selasa (24/9). 

Ketua DPRD Kabupaten Maybrat Ferdinando Solossa mengatakan, para pimpinan DPRD merupakan representasi masyarakat Papua. Sehingga, ia meminta pemerintah menindaklanjuti delapan poin aspirasi tersebut.

Baca Juga

"Kami juga pingin situasi Papua itu aman, damai, supaya masyarakat terlayani dengan baik. Semua ini kan butuh komunikasi. Kalau kita semua duduk bersama, saling menerima, ini semua bisa selesai," ujar Ferdinando usai audiensi kepada wartawan, Selasa (24/9).

Ia merinci delapan tuntutan masyarakat Papua dan Papua Barat. Satu, dialog antara pemerintah pusat dan tokoh-tokoh Papua, khususnya tokoh-tokoh yang dipandang memiliki ideologi yang konfrontatif atau berseberangan seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Komite Nasional Papua Barat (KNPB). 

Dialog dimaksud agar dilakukan dengan melibatkan pihak ketiga yang independen, netral, dan objektif dalam menyelesaikan akar persoalan politik, HAM, dan demokrasi di tanah Papua. Kehadiran pihak ketiga tersebut krusial dan strategis untuk dapat memperkuat rasa saling percaya (mutual trust) dari berbagai elemen masyarakat. 

Dua, mendesak kepada pemerintah pusat untuk segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Daerah Otonomi Khusus Papua. Tiga, menarik pasukan non-organik TNI dan Polri di Papua dan Papua Barat.

Empat, mendorong pembentukan pemekaran daerah otonomi baru khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat. Lima, meminta kepada Presiden Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri dan Kapolri memfasilitasi pertemuan dengan beberapa kepala daerah yang wilayahnya menjadi pusat pendidikan pelajar mahasiswa Papua dan Papua Barat untuk mendapatkan jaminan keamanan.

Enam, mendorong terbentuknya komisi kebenaran, keadilan, dan rekonsiliasi (KKKR) guna menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM di tanah Papua. Tujuh, meminta Mendagri memfasilitasi pertemuan gubernur, bupati/wali kota, MRP/MRPB, DPR daerah pemilihan Papua dan Papua Barat, pimpinan DPRD provinsi, pimpinan DPRD kabupaten/kota se-Provinsi Papua dan Papua Barat dengan Presiden untuk menyampaikan permasalahan yang terjadi di tanah Papua.

"Delapan, penegakan hukum yang transparan, terbuka, jujur, dan adil terhadap pelaku rasisme di Surabaya, Malang, dan Makassar," kata Ferdinando.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement