Rabu 25 Sep 2019 08:48 WIB

Perlambatan Ekonomi Global Belum Tekan Pendapatan Karyawan

Kinerja pajak penghasilan orang pribadi dan PPh Pasal 21 menunjukkan tren positif.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) dalam konferensi pers kinerja APBN sampai akhir Agustus 2019 di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (24/9).
Foto: Republika/ Adinda Pryanka
Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) dalam konferensi pers kinerja APBN sampai akhir Agustus 2019 di Gedung Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (24/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, perlambatan pertumbuhan ekonomi global belum memberikan tekanan terhadap karyawan. Di sisi lain, faktor eksternal sudah berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan.

Hal tersebut tergambarkan dari kinerja Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) dan PPh Pasal 21 yang menunjukkan kinerja positif pada Agustus. Pertumbuhan PPh OP dan PPh Pasal 21 pada bulan lalu masing-masing mencapai 15,4 persen dan 10,6 persen.

Baca Juga

Penerimaan PPh OP pada Agustus mencapai 8,91 triliun. Sri menjelaskan, pencapaian kinerja positif pada jenis pajak ini disebabkan upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pasca Tax Amnesty untuk melakukan ekspansi dari basis pajak ke OP. "Ini hal positif yang harus digarisbawahi," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kinerja dan Fakta (KiTa) di Gedung DJP, Jakarta, Selasa (24/9).

Sementara itu, PPh Pasal 21 mencatatkan penerimaan Rp 102,13 triliun sampai dengan Agustus. Meski pertumbuhannya melambat dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu (16,4 persen), PPh Pasal 21 tetap berada di kisaran double digit.

PPh pasal 21 merupakan pajak potongan atau pungutan atas gaji/ honorarium yang diterima oleh pekerja. Kestabilan kondisi ketenagakerjaan seperti kenaikan tingkat upah dan kenaikan jumlah angkatan kerja yang dibarengi rendahnya tingkat pengangguran menjadi faktor utama pendorong penerimaan PPh ini. Dengan kinerjanya yang positif, Sri menyebutkan, membuktikan bahwa penghasilan masyarakat masih tetap tumbuh baik.

Berbeda dengan dua jenis pajak tersebut, jenis pajak lainnya justru mengalami perlambatan. Kontraksi paling dalam terjadi pada Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) yang tumbuh minus 6,5 persen. Sedangkan, periode yang sama pada tahun lalu, pertumbuhannya dapat mencapai 9,2 persen. "Karena kegiatan ekonomi mulai menunjukkan pelemahan," ujar Sri menjelaskan penyebabnya.

PPN Impor juga menghadapi kondisi serupa. Jenis pajak ini mengalami tekanan sampai tumbuh minus 6,0 persen, sedangkan tahun lalu dapat mencapai 27,4 persen. Pertumbuhan pajak ini sangat erat hubungannya dengan kinerja impor secara nasional. Secara kumulatif, selama periode Januari hingga Juli, memang terjadi penurunan nilai impor secara nasional sebsar 9,0 persen (yoy).

Efek penurunan impor sedikit lebih moderat terhadap jenis pajak PPh pasal 22 impor yang masih tumbuh 0,56 persen (yoy). Salah satunya diakibatkan penerapan kenaikan tarif yang mulai berlaku pada September 2018. Sementara itu, geliat impor produk otomotif di tengah tekanan industri otomotif dalam negeri mampu mendorong jenis pajak PPnBM Impor tumbuh 7,5 persen (yoy).

Dari berbagai kondisi tersebut, Sri menekankan, pertumbuhan penerimaan pajak mengahdapi tekanan yang mulai berdampak pada kegiatan usaha dalam negeri. "Ini perlu diwaspadai," tuturnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement