REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad Al-Islamiyah, Abdullah Abubakar Batarfie, menyampaikan, gerakan Pan Islamisme yang dibawa Syekh Surkati juga menyadarkan umat Islam yang masih merasa rendah diri pada masa pen jajahan Belanda.
Menurutnya, paham Pan Islamisme itu membangkitkan rasa percaya diri umat. Umat Islam di Indonesia diingatkan agar memiliki pikiran dan perasaan bah wa derajatnya sama dengan bangsabangsa lain.
"Karena kehidupan sosial (di Jawa) pada saat itu ada stratifikasi sosial yang cukup tajam, di kalang an orang-orang Arab ada perbedaan antara Sayyid dan non-Sayyid, di kalangan masyarakat pribumi ada kaum priyayi, ningrat, dan lain se bagainya. Juga, ada bangsa Eropa yang menjajah merasa lebih tinggi kedudukannya sebagai orang kulit putih," kata Abdullah.
Maka, Syekh Surkati menegaskan, kebebasan atau kemerdekaan tidak dapat diraih dengan jiwa yang merasa rendah diri. Umat Islam di Indonesia harus menyadari bahwa kedudukannya setara dengan bang sa-bangsa lain. Itulah nilai-nilai Pan Islamisme yang disampaikan Syekh Surkati untuk melawan kolonialis me melalui gerakan pendidikan.
Mengenai gagasan Pan Islamisme, Abdullah menerangkan, awalnya dari Jamal-al-Din Afghani. Ke mudian, diimplementasikan oleh Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridaha menjadi gerakan pembaharuan pen didikan Islam. Syekh Surkati kemudian membawa gerakan itu ke Indonesia dan melahirkan madra sah-madrasah modern.
Sementara, peneliti Toyo Bunko dari Jepang, Motoki Yamaguchi, menyampaikan, ia pernah mem ban dingkan pemikiran Syekh Sur kati dengan ulama-ulama Arab lain nya. Menurutnya, pemikiran Syekh Surkati lebih terbuka ketimbang ulama Arab lainnya. Dia berasumsi, pemikiran Syekh Surkati lebih ter buka karena lama hidup di Indo nesia.
"Syekh Ahmad Surkati mengutamakan kebersamaan dan kesetaraan, konsep kebersamaan dan ke setaraan pada masa itu sangat luar biasa dan penting karena itu dasar dari demokrasi," ujarnya.
Motoki mengungkapkan, kekagumannya terhadap Syekh Surkati yang memiliki pikiran jauh ke depan di zaman kolonial. Ulama yang lahir di Sudan itu sudah bisa ber pikir tentang kebersamaan dan ke setaraan gender yang juga merupakan dasar dari paham demokrasi.