REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Asian Development Bank (ADB) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir tahun berada di tingkat 5,1 persen. Prediksi ini lebih rendah dibanding dengan proyeksi pada April lalu, 5,2 persen.
Menurut ADB, pelambatan disebabkan penurunan kinerja ekspor dan pelemahan investasi domestik. Namun Direktur ADB untuk Indonesia Winfried Wicklein mengatakan, pertumbuhan akan kembali membaik pada 2020 di kisaran 5,2 persen.
Laju pertumbuhan tahun depan, jelas Winfried, seiring dengan penguatan konsumsi dalam negeri dan perbaikan investasi setelah masa pemerintahan baru. "Konsumsi yang kuat akan membuat Indonesia menurunkan pertumbuhan ekonominya baik tahun ini dan tahun depan," ujarnya dalam Asian Development Outlook (ADO) 2019 di kantornya, Jakarta, Rabu (25/9).
Winfried mengatakan, fundamental perekonomian Indonesa masih solid dengan posisi fiskal yang dikelola dengan baik. Selain itu, harga-harga stabil dan cadangan devisa pada posisi cukup aman.
Hanya saja, menurut ADB, masih dibutuhkan investasi yang lebih kuat untuk mendorong pertumbuhan. Fokusnya, pada daya saing dan pengembangan sumber daya manusia.
Winfried menilai, investasi diperkirakan akan terus membaik menjelang akhir tahun, seiring dengan kemajuan pembangunan proyek-proyek strategis nasional untuk meningkatkan Jaringan infrastruktur. Pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia baru-baru ini juga berpeluang memberikan suntikan tenaga bagi pertumbuhan kredit.
Sementara itu, pada 2020, investasi swasta akan terus membaik seiring dengan ekspektasi berbagai kebijakan reformasi baru. Tujuannya, meningkatkan iklim usaha dan mempercepat modernisasi perekonomian.
Belanja konsumen diharapkan masih dapat mempertahankan pertumbuhan yang kuat pada tahun ini dan tahun depan. Kondisi ini ditopang oleh naiknya pendapatan rumah tangga, pertumbuhan lapangan kerja, dan inflasi yang rendah.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara memproyeksikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir tahun berada di kisaran 5,08 persen. Dengan realisasi pertumbuhan ekonomi pada semester pertama mencapai 5,06 persen, maka semester kedua hanya akan menyentuh tingkat 5,11 hingga 5,12 persen.
Suahasil menuturkan, tantangan global memang lebih banyak berdampak terhadap dunia usaha. Khususnya mereka yang berorientasi ekspor. Sebab, pertumbuhan negara maju yang melambat menyebabkan permintaan barang-barang ke Indonesia ikut menurun.
Dengan pertumbuhan ekspor menurun dan harga komoditas yang menurun, penerimaan perusahaan pun ikut menurun. Triple effect ini membuat penyetoran pajak dunia usaha ikut menurun. "Ini mulai terasa, satu step demi step terasa (ke ekonomi Indonesia)," ucap Suahasil saat konferensi pers di Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa (24/9).