REPUBLIKA.CO.ID, BANJAR -- HA (43) guru honorer pelaku pencabulan ternyata juga pernah mengalami aksi pencabulan sewaktu dia masih remaja. Kapolres Banjar AKBP Yulian Perdana mengataka, pencabulan yang dialaminya terjadi sekitar 1993 ketika dirinya masih duduk di kursi SMA. Tersangka mengaku dicabuli oleh salah satu saudara dekatnya.
Pascapencabulan, HA beraktivitas seperti biasa dan tumbuh sebagaimana anak muda. Namun, sejak 2006 ia memiliki hasrat untuk melakukan pencabulan kepada anak-anak dan melampiaskan nafsunya itu.
Yulian mengatakan, dengan adanya kasus ini, semua pihak perlu lebih hati-hati dan waspada dalam mengawasi anaknya. Pasalnya, korban pencabulan bukan tidak mungkin dapat menjadi pelaku pencabulan di masa datang.
"Ini merupakan fenomena gunung es. Anak (korban) bisa menjadi pelaku berikutnya. Kajian-kajian psikologi sudah ada yang mengkajian seperti itu," kata dia.
HA sendiri ditangkap terkait pencabulan yang dilalukannya terhadap puluhan anak. Yulian menegaskan, di era serba modern seperti saat ini, peran orang tua tak cukup hanya dengan menyekolahkan anak. Lebih dari itu, orang tua juga harus memerhatikan dan mendidik anak. Terlebih mengenai pendidikan seksual.
Ia menjelaskan, pendidikan seksual bukan berarti mengajarkan anak melakukan hubungan seksual, melainkan mendidik anak mengerti untuk melindungi dirinya sendiri. "Itu harus sejak dini ditanamkan. Karena kekerasan seksual bisa jadi beruntun," kata dia.
Ia menjelaskan, anak-anak yang melakukan hal itu sudah mengangkap pencabulan adalah hal normal. Artinya ada disorientasi anak setelah mengalami kekeresan seksual. "Saya tidak punya kompetensi untuk melakukan itu. Tapi kita harus lebih peduli lagi pada anak. Karena pelaku bisa siapapun," kata dia.
Ia menilai, dalam kasus ini, hukuman penjara bisa jadi tidak terlalu efektif. Untuk memangkas rantai kekerasan itu, lanjut dia, diperlukan rehabilitasi atau langkah-langkah edukasi untuk mencegah kasus ini. "Kita harap ini kejadian terakhir. Kita harus melindungi masa depan anak bangsa," jelas dia
Ia menegaskan, tersangka akan dijerat Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 82 ayat 4, 5, 6, 7. Tersangka diancam penjara minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun dan denda Rp 5 miliar.
Adanya penyediaan pasal, kata dia, bisa menambah hukuman pidana selama sepertiga hukuman maksimal. "Itu di Pasal 82 ayat 4," jelasnya.
Sedangkan dalam ayat 5, tersangka dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Ia menambahkan, tersangka juga bisa dikenakan hukuman pemasangan alat elektronik berupa chip agar keberadaan pelaku bisa dipantau pasca menjalani hukuman penjara.
Sementara pelaku pencabulan yang masih di bawah umur, yakni usia 11 dan 12 tahun, akan diperlakukan sesuai mekanisme sistem peradilan anak. "Kita utamakan kepada mereka bagaimana rehabilitasi," kata dia.