REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta seluruh jajarannya untuk kembali menyisir regulasi yang berpotensi menghambat investasi. Hal ini ia sampaikan saat memimpin rapat terbatas tingkat menteri yang membahas tetang investasi, Rabu (25/9).
Menurutnya, pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya mengundang investasi asing demi bertahan di tengah fluktuasi ekonomi dunia. "Ekonomi global melambat, banyak negara lain sudah masuk resesi. Kita berpacu dengan waktu dan harus bergerak dengan cepat, dengan pemangkasan, dengan penyederhanaan dari regulasi yang menghambat," jelas Jokowi di hadapan para menteri bidang ekonomi, Rabu (25/9).
Jokowi pun kembali mengingatkan bahwa pemerintah berupaya memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi penanam modal yang membuka usahanya di Tanah Air. Rapat terbatas mengenai investasi sebetulnya sudah dilakukan berkali-kali dalam tahun ini.
Pemerintah pun berulang-ulang menegaskan komitmennya untuk mempermudah investor untuk masuk ke dalam negeri, salah satunya dengan mempermudah perizinan dan memangkas regulasi.
Dalam ratas dengan topik serupa pada awal September 2019, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menyebutkan, masih banyak peraturan di level menteri yang abu-abu, tumpang tindih dengan kementerian lain, bahkan kerap kali berubah-ubah dalam jeda singkat.
"Kemudian perizinan bertele-tele. Semua dijadikan izin. Ini sangat menghambat proses dunia usaha," katanya.
Selain perkara perizinan dan aturan, ujar Thomas, investor juga mengeluhkan aturan perpajakan dan hambatan dalam pembebasan lahan. Menurutnya, investor keberatan terhadap izin bangunan dan layanan lain yang membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan biaya yang tak kecil.
Hambatan investasi lainnya yang disampaikan Thomas kepada Presiden adalah isu ketenagakerjaan. Menurutnya, Undang-Undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah tidak relevan dengan kondisi di lapangan saat ini. Pengusaha, ujar Thomas, menuntut adanya pembaruan dalam hal aturan yang mengikat mereka terkait ketenagakerjaan.
"Dan juga, dengan penuh hormat harus kami akui banyak keluhan dari swasta mengenai dominasi BUMN," kata Thomas.