Rabu 25 Sep 2019 20:19 WIB

Warga Wamena Mengantre Dievakuasi

Warga mengungsi di Kompleks AURI di Wamena, kodim, polres, gereja, dan masjid

Warga menunggu pesawat Hercules milik TNI AU di Pangkalan TNI AU Manuhua Wamena, Jayawijaya, Papua, Rabu (25/9/2019).
Foto: Antara/Iwan Adisaputra
Warga menunggu pesawat Hercules milik TNI AU di Pangkalan TNI AU Manuhua Wamena, Jayawijaya, Papua, Rabu (25/9/2019).

Oleh: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAWIJAYA – Perempuan dan anak-anak warga pendatang di Wamena, Jayawijaya, Papua terus mengantre untuk dievakuasi meninggalkan wilayah tersebut. Sejauh ini, meski kerusuhan sudah mereda, warga setempat menuturkan bahwa kondisi masih mencekam sejak Senin (23/9) lalu.

“Masih terus bergolak ini di Wamena, semuanya masih berjaga-jaga,” kata Pardjono, seorang pegawai negeri yang tinggal di Wamena kepada Republika, Rabu (25/9). Saat ini, Pardjono mengatakan ia tengah mengungsi bersama sekitar seratus warga pendatang lainnya di Kompleks AURI di Wamena. Sementara pengungsi lainnya, menurut dia banyak yang tinggal di kodim dan polres setempat, serta gereja-gereja dan masjid-masjid.

Ia menuturkan, warga mulai mengungsi begitu terjadi pelemparan dan pembakaran oleh siswa-siswi SMK yang melakukan aksi unjuk rasa menolak rasialisme di Wamena pada Senin. “Jadi kita semua langsung bawa mobil dan motor bersama keluarga pergi ke kodim, polres, ada juga yang ke Masjid Nurul Hidayat,” kata dia.

Menurut Pardjono, para pengungsi pergi hanya dengan pakaian di badan dan kendaraan masing-masing. Mereka tak sempat mengamankan harta benda saat kerusuhan meletus. Saat hendak kembali ke kediaman masing-masing malam harinya, kerusuhan kembali meledak dan aksi penjarahan dan pembakaran kembali terjadi.

Ia menuturkan, kebetulan saat kerusuhan terjadi istri dan anaknya sedang mengunjungi kerabat di Jawa. Sedangkan anak-anak dan perempuan pendatang di Wamena sudah mulai dievakuasi ke luar daerah tersebut. Mereka pergi menaiki pesawat Hercules dan CN235 milik TNI AU sejak Selasa (24/9) pagi dan masih banyak lagi yang mengantri untuk dapat giliran berangkat.

Praktis, di Wamena saat ini kebanyakan hanya pria pendatang yang tinggal di pengungsian. Sebagian lainnya masih menjaga kediaman masing-masing. Sementara warga asli Papua di Wamena juga masih terus berjaga-jaga dan lainnya juga mengungsi ke kabupaten tetangga.

Kerusuhan di Wamena bermula dari aksi unjuk rasa siswa SMA/SMK pada Senin (23/9). Saat itu, mereka menuntut proses hukum terhadap salah seorang guru yang dikabarkan melontarkan ucapan rasialis pada seorang murid. Aksi tersebut kemudian ditingkahi pelemparan rumah-rumah dan bangunan pemerintah.

Aparat TNI-Polri kemudian melontarkan tembakan dan gas air mata. Aksi kemudian jadi kian tak terkendali. Peserta aksi membakar banyak gedung pemerintahan, rumah waraga, dan kios-kios. Pemprov Papua melansir, sebanyak 30 orang meninggal dalam kerusuhan tersebut. Kendati demikian, menurut Pardjono, info yang beredar di pengungsian jumlah yang meninggal bisa lebih banyak.

Menurut Pardjono, selama ini sebenarnya warga tempatan dan pendatang hidup rukun. “Kita selalu harmonis selama ini. Tapi tiba-tiba ada yang turun dari gunung dan ikut bikin kerusuhan kemarin itu,” kata dia. Ia mengharapkan kondisi di Wamena bisa segera dipulihkan agar semua pihak bisa kembali beraktifitas.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement