REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Afghanistan mengerahkan lebih dari 100 ribu personel keamanan untuk mengamankan pemilu presiden (pilpres) yang dijadwalkan digelar pada Sabtu (28/9). Hal itu dilakukan karena Taliban mengancam akan mengacaukan proses pemungutan suara.
“Seluruh aparat keamanan dalam kondisi siaga tinggi. Operasi untuk menetralisir, menangkap, dan mengacaukan serangan pemberontak sedang dilakukan menjelang pemilu,” kata direktur jenderal operasi dan perencanaan di Kementerian Dalam Negeri Afghanistan Abdul Moqim Abdulrahimzai, Kamis (26/9).
Kendaraan militer pun dikerahkan ke daerah-daerah yang tak stabil dan berpotensi menjadi target serangan. "Tugas kami adalah membela proses nasional, pemilu yang demokratis, dan warga sipil," ujar Abdulrahimzai.
Taliban dilaporkan telah mengancam masyarakat Afghanistan untuk tidak berpartisipasi dalam pilpres kali ini. Ancaman tersebut menempatkan warga dalam posisi dilematis.
Saat berpartisipasi dalam pemilu, jari mereka akan ditandai dengan tinta permanen. Hal itu berisko mengingat pada pemilu-pemilu sebelumnya Taliban memotong jari warga yang telah ditandai tinta.
Pada pemilu kali ini, Taliban telah mengancam akan membunuh siapa pun yang mengikuti pemilu. Pekan lalu, Taliban menyerang massa kampanye Presiden Ashraf Ghani. Aksi bom bunuh diri menyebabkan hampir 50 orang tewas.
Taliban diketahui telah menolak penyelenggaraan pemilu di Afghanistan. Mereka pun menentang pemerintahan saat ini karena dianggap boneka.
Prospek perdamaian Afghanistan pun masih suram. Sebab perundingan damai antara mereka dan Amerika Serikat (AS) telah terhenti.
Sejak tahun lalu, AS dan Taliban terlibat negosiasi dan pembicaraan. Salah satu topik utama yang mereka bahas adalah perihal penarikan pasukan AS yang berjumlah 14 ribu personel dari Afghanistan.
Menurut Taliban penarikan pasukan akan menjadi pintu pembuka untuk melakukan pembicaraan intra-Afghanistan. AS dan Taliban hampir mencapai kesepakatan. Namun pada awal September lalu, Presiden AS Donald Trump memutuskan menyetop perundingan dengan Taliban.
Keputusan itu diambil setelah Taliban mengaku bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri di Ibu Kota Afghanistan Kabul. Sebanyak 12 orang tewas dalam insiden itu, termasuk satu tentara AS.
Taliban pun mengkritik dan memprotes keputusan Washington. Mereka mengancam bahwa AS akan bertanggung jawab atas setiap pertumpahan darah yang terjadi di Afghanistan.