Kamis 26 Sep 2019 20:35 WIB

LBH Pers Resmi Laporkan Polisi Pelaku Kekerasan Jurnalis

Kekerasan terjadi saat tiga jurnalis melakukan peliputan aksi unjuk rasa mahasiswa.

[Ilustrasi] Polisi berjaga ketika unjuk rasa di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (24/9/2019).
Foto: Antara/Abriawan Abhe
[Ilustrasi] Polisi berjaga ketika unjuk rasa di Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (24/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Tim advokasi hukum kekerasan jurnalis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Makassar resmi melaporkan oknum polisi pelaku kekerasan terhadap tiga jurnalis di Makassar. Kekerasan terjadi saat tiga jurnalis tersebut melakukan peliputan aksi unjuk rasa mahasiswa pada Selasa (24/9).

"Hari ini resmi kami melaporkan ke Polda Sulsel, terkait kasus kekerasan jurnalis. Intinya tahapan laporan kita lakukan, baik pidana dan etik di Propam untuk perkembangannya masih dalam proses," kata Direktur LBH Pers Makassar, Fajriani Langgeng SH disela pendampingan ketiga jurnalis yang melapor di Polda Sulsel, Kamis (26/9).

Baca Juga

Pada kesempatan itu, Fajriani yang bersama Kadir Wokanubun Tim Kuasa Hukum mengatakan secara umum, laporan dibagi dua. Pertama, tindak pidana umum pasal yang disangkakan, yakni pasal 170 dan pasal 351.

"Yang kedua kita ke Propam karena yang terlibat ini adalah aparat, olehnya itu Propam harus memeriksa anggotanya yang melakukan tindakan pemukulan dan pengeroyokan," tegas Kadir.

Kadir mengatakan, ketiga korban mengalami luka-luka lebam dan bagi tim advokasi hukum, hal itu merupakan tindak pidana. "Padahal teman-teman dalam menjalankan tugas liputan selaku jurnalis dengan atribut lengkap," jelasnya.

Kadir menjelaskan, yang pertama tadi itu di Tipidum (Tindak pidana umum) Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP) sudah diterima. "Kami menagih komitmen kepolisian perihal perlindungan jurnalis ketika meliput di lapangan, karena inikan bukan insiden pertama. Nah itu jadi bukti polisi tidak pernah memberikan rasa aman bagi jurnalis ketika melaksanakan kerja-kerja Jurnalistik," paparnya.

Barang buktinya baju-baju korban yang berlumuran darah milik Saiful dan Darwin juga disiapkan video dan foto saat kekerasan itu terjadi. LBH Pers juga akan memilih video dan foto, sebagai barang bukti yang akan dilampirkan, dimana dalam video dan foto, pelaku memang menggunakan atribut polisi.

Padahal, saat menjalankan tugas, ketiga jurnalis memperlihatkan atribut jurnalis dan juga mengaku sebagai jurnalis, tapi tetap mendapat pukulan dari aparat. "Kami minta Kapolda Sulsel untuk mengambil tindakan tegas dari segi etik kepolisian juga tindak pidananya," tandas Kadir.

Sementara, Darwin, wartawan LKBN ANTARA yang menjadi korban, mengatakan tahap pertama ini adalah laporan pidana. "Rencana akan dilanjutkan ke tingkat Propam terkait dengan etik kepolisian yang melakukan penganiayaan dan pengeroyokan terhadap teman-teman jurnalis," ujar Darwin mewakili dua korban lainnya, yakni Saiful jurnalis inikata.com (Sultra) dan Isak Pasabuan jurnalis Makassar Today.

Tiga jurnalis yang mendapat kekerasan dari aparat kepolisian saat melakukan tugas liputan aksi penolakan pengesahan revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU pertanahan di depan Gedung DPRD Sulsel Jalan Urip Sumoharjo Makassar, Selasa (24/9/2019), yakni Darwin, Saiful dan Isak.

Kondisi Darwin sendiri masih diperban kepala bagian belakang, Saiful masih mengalami pembengkakan pada pipi kiri dan bagian mata bawah masih diperban, sementara Isak mengalami lebamdi beberapa bagian tubuhnya.

Ketua AJI Makassar, Nurdin Amir, yang turut mendampingi pelaporan tersebut menilai, kekerasan pemukulan dan intimidasi yang dilakukan aparat kepolisian terhadap wartawan melanggar Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 8 UU Pers menyatakan dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum.

UU Pers juga mengatur sanksi bagi mereka yang menghalang-halangi kerja wartawan. Pasal 18 UU Pers menyebutkan, ”Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berkaitan menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat 2 dan ayat 3 dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”

AJI Makassar juga mendesak Kepolisian memproses tindakan kekerasan tersebut. Sikap tegas dari penegak hukum diharapkan agar peristiwa serupa tidak terulang. “Tiga korban dipukul aparat kepolisian Saat melakukan tugasmu. Kita tunggu sikap tegas pihak kepolisian, proses hukum harus berjalan dan tidak boleh pandang bulu,” tandas Nurdin.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement