REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam telah menghabiskan waktu selama lebih dari dua jam untuk menanggapi sejumlah pertanyaan dan kecaman dari orang-orang di kota itu. Dalam sesi dialog komunitas yang digelar setelah empat bulan aksi demonstrasi massal, perempuan berusia 62 tahun itu akhirnya terlibat langsung dalam pembicaraan dengan publik.
Lam kemudian mengatakan dia mendengarkan seluruh protes yang datang dari masyakarakat Hong Kong. Dialog tersebut mungkin menjadi sebuah kemajuan dalam upaya menanggulangi aksi protes besar-besaran di kota otonom China itu. Meski demikian, hal ini bukan berarti akan ada perubahan secara jelas atau langsung atas tuntutan publik.
Sejak Juni lalu, gelombang demonstrasi besar-besaran dimulai di Hong Kong. Ribuan orang di kota itu menentang Rancangan Undang-undang (UU) yang memungkinkan tersangka dalam suatu kejahatan diekstradisi ke wilayah China daratan dan diadili oleh pengadilan yang dikendalikan oleh pemerintah pusat China.
Aksi ini kemudian terus meluas, dengan seruan para demonstran yang menuntut demonstrasi sepenuhnya bisa ditegakkan. Situasi ini menjadi salah satu krisis politik paling serius, sejak Hong Kong dikembalikan ke China oleh Inggris pada 1997, dengan ketentuan ‘satu negara dua sistem’ yang berarti Hong Kong dapat mempertahankan hak-hak khusus untuk kota tersebut.
Banyak masyarakat Hong Kong yang khawatir bahwa pemerintah pusat China pada akhirnya akan memiliki campur tangan penuh atas hak asasi mereka. Aksi protes yang berlangsung dalam tiga bulan terakhir ini telah memukul perekonomian di kota yang terkenal sebagai pusat bisnis Asia Timur itu, hingga saat ini berada di ambang resesi terburuk dalam satu dekade.
Dilansir HRW, alih-alih berusaha menemukan solusi untuk memulihkan situasi, Lam lebih memilih untuk mengisolasi dirinya. Hanya satu atau dua kali ia tampil memberikan konferesi pers terkait demonstrasi maupun tuntutan orang-orang di dalamnya.
Lam berulang kali menolak permintaan dari anggota parlemen dan aktivis pro-demokrasi untuk bertemu. Hingga pekan lalu, pihak berwenang Hong Kong mengumumkan adanya sesi dialog komunitas untuk pertama kali, sebuah langkah yang tampaknya menjadi upaya membubarkan demonstrasi sebelum 1 Oktober mendatang, yang merupakan hari peringatan ke-70 pemerintahan Partai Komunis di China.
Hanya 150 dari 20 ribu orang yang mendaftar diizinkan hadir. Hanya sekitar 30 yang mendapat kesempatan untuk berbicara. Di sesi itu, Lam kembali menolak permintaan dilakukannya penyelidikan independen terhadap penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi dan tidak membuat komitmen untuk mengatasi masalah yang diangkat.
Sulit untuk memastikan apakah sesi dialog dan apa yang disebutnya sebagai ‘listening mode’ atau mode mendengarkan adalah ide yang datang dari Lam sendiri atau justru diperintahkan oleh China. Apa pun langkah yang ia ambil nampaknya tetap tidak akan seperti yang diminta oleh warga Hong Kong, meski mereka dari berbagai kalangan dan usia, seperti pelajar, pegawai negeri sipil, pengacara, dan orang tua telah mengambil bagian dalam demonstrasi ini.
Ketika kepercayaan publik pada pemerintah Hong Kong dan aparat berwenang saat ini berada di posisi terendah, dialog terbatas tanpa tindakan membuat visi Lam untuk melakukan rekonsiliasi tampak semakin tidak mungkin.