REPUBLIKA.CO.ID, KUTA -- Bank Indonesia menyebut negara-negara berkembang akan kebanjiran likuiditas global terutama bentuk investasi portofolio. Hal ini disebabkan volume perdagangan global yang turun akibat adanya perang dagang.
Pada Juli-Agustus tercatat 3,5 miliar dolar AS aliran modal asing masuk ke portofolio, sehingga cadangan devisa masih terjaga sebesar 126,4 miliar dolar AS pada Agustus cukup untuk 7,4 bulan impor atau 7,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Onny Widjanarko mengatakan likuiditas tersebut memiliki sifat volatilitas yang tinggi. Nantinya tergantung pada yield yang ditawarkan masing-masing negara berkembang.
“Kondisi tersebut (likuiditas global) banyak direspon negara-negara yang mengalami perlambatan pertumbuhan dengan penurunan suku bunga yang dilakukan beberapa bank sentral,” ujarnya di Kuta, Bali, Jumat (27/9).
Bank sentral AS The Fed telah menurunkan suku bunganya pada Juli dan September masing-masing sebesar 0,25 persen. Pasar keuangan memperkirakan Fed Fund Rate akan turun akhir 2019 dan 2020, seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tekanan inflasi Amerika Serikat.
Menurut Onny perlambatan ekonomi global terlihat dari lima negara seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, China dan India. Adanya situasi dan kondisi global ini, pertumbuhan Indonesia turut terpengaruh kondisi yang kurang menguntungkan.
“Pertumbuhan ekonomi kita melandai, masih ada prospek naik tapi tidak begitu kuat,” jelasnya.
Sementara Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menambahkan perlambatan ekonomi global berdampak besar pada kinerja pertumbuhan perdagangan beberapa sektor di Indonesia. Salah satunya pertumbuhan sektor otomotif yang diprediksi akan mengalami kontraksi hingga -10 persen pada tahun ini.
"Pertumbuhan sektor otomotif hingga pertengahan 2019 sudah mengalami kontraksi hingga -11 persen," ucapnya.