Ahad 29 Sep 2019 06:27 WIB

Pengamat Hukum UII: Isu Sensitif Revisi UU KPK

Lembaga KPK memiliki watak independen, seharusnya tidak menjadi bagian dari eksekutif

Rep: my28/ Red: Fernan Rahadi
Pengamat Hukum Internasional  Universitas Islam Indonesia (UII) Jawahir Tanthowi (kiri) dalam pelaksanaan kegiatan Kuliah Umum di Pascasarjana Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Jumat (27/9).
Foto: Hilyatul Asfia
Pengamat Hukum Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) Jawahir Tanthowi (kiri) dalam pelaksanaan kegiatan Kuliah Umum di Pascasarjana Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Jumat (27/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Internasional  Universitas Islam Indonesia (UII) Jawahir Tanthowi menuturkan terdapat beberapa poin permasalahan yang bersifat sensitif dalam revisi UU KPK yang baru disahkan.

Pertama, independensi dalam tubuh KPK terancam. Menurut Jawahir, lembaga KPK memiliki watak independen, sehingga seharusnya tidak dapat ditempatkan menjadi bagian dari eksekutif.

"Karakteristik independensi tersebut seharusnya tidak mudah diintervensi oleh presiden maupun kepentingan politik," ujarnya kepada Republika dalam pelaksanaan kegiatan Kuliah Umum di Pascasarjana Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, Jumat (27/9).

Kedua, melemahnya peran KPK dalam melaksanakan tugasnya. Jawahir mengatakan, apabila penyidikan dan penuntutan dihilangkan dan dikembalikan kepada polisi dan jaksa justru maka itu menjadi cara melumpuhkan KPK. "KPK justru akan mengalami kelumpuhan", ungkapnya. 

Ketiga, kata Jawahir, pembentukan Dewan Pengawas Internal dinilai tidak perlu. Menurutnya, jika institusi dikatakan independen layaknya KPK, maka seharusnya kepemimpinannya tersebut berbentuk kolektif kolegial yakni memiliki kedudukan yang sama. 

Pasal 21 ayat (5) UU KPK memiliki makna, setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh pimpinan KPK.  "Pengambilan keputusan secara bersama tersebut menjadi bagian  kewenangan pimpinan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan," ungkap Jawahir. 

Jawahir menuturkan tanpa adanya dewan pengawas sekalipun, sebenarnya pengawasan telah ada dengan sendirinya melalui tahapan yang memaksimalkan kewenangan pengawasan oleh lembaga DPR.

"Toh, saat menggunakan dana KPK harus menggunakan persetujuan DPR. DPR juga turut serta dalam pemilihan pimpinan KPK," katanya.

Keempat, berkaitan persoalan penyadapan, kewenangan penyedapan hendaknya difungsikan sebagai upaya pencegahan tidak hanya penangkapan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. 

Menurut Jawahir, selayaknya praktik yang dilakukan di luar negeri. "Penyadapan memiliki fungsi sebagai upaya pencegahan terhadap pelaku yang hendak melakukan tindak pidana korupsi," tuturnya. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement