Ahad 29 Sep 2019 21:52 WIB

Mengenal Sosok Gus Miek dan Perjuangannya

Gus Miek terlahir dalam keluarga pesantren di Ploso, Kediri, Jawa Timur.

Rep: muhyiddin/ Red: Agung Sasongko
Pesantren
Foto: Arief Priyoko/Antara
Pesantren

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Gus Miek terlahir dalam keluarga pesantren di Ploso, Kediri, Jawa Timur, pada 17 Agustus 1940 dan wafat pada 5 Juni 1993 di Surabaya. Dia lahir dari pasangan KH Jazuli Usman dan Nyai Radliyah.

Ayahnya adalah salah satu santri Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari yang mendi prikan Pondok pesantren Ploso Kediri, sedangkan ibunya memiliki jalur keturunan sampai kepada Nabi Muhammad sebagai keturunan ke-32 dari Imam Hasan, anak dari Ali bin Abi Thalib dengan Siti Fathimah.

Keunikan Gus Miek sudah tampak sejak kecil. Dia tidak suka banyak bicara, suka menyendiri, dan bila berjalan selalu menundukkan kepala. Kendati demikian, Gus Miek sering masuk ke pasar untuk melihat pedagang dan sering melihat orang mancing di sungai. Jika keluarganya berkumpul, Gus Miek selalu mengambil tempat paling jauh.

mPada awalnya Gus Miek disekolahkan oleh ayahnya di Sekolah Rakyat, tetapi tidak selesai karena dia sering bolos. Ketika menginjak usia sembilan tahun, Gus Miek sudah sering bertabaruk ke berbagai kiai sufi. Beberapa kiai yang dikunjunginya adalah KH Mubasyir Mundzir Kediri, Gus Ud (KH Mas'ud) Pagerwojo-Sidoarjo, dan KH Hamid Pasuruan.

Gus Ud merupakan seorang tokoh kharismatik yang diyakini sebagai seorang wali. Dia sering dikunjungi olah sejumlah ulama untuk meminta doa. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kali nya Gus Miek bertemu KH Ahmad Siddiq yang di kemudian hari menjadi orang kepercayaannya dan sekaligus besannya.

Kebiasaan Gus Miek pergi ke luar rumah menggelisahkan orang tuanya. Akhinya, ayahnya memintanya untuk nyantri ke Lirboyo, Kediri, di bawah asuhan KH Machrus Ali yang kelak begitu gigih menentang tradisi sufinya. Di Lirboyo, Gus Miek bertahan hanya 16 hari dan kemudian pulang ke Ploso. Ketika sadar orang tuanya resah akibat ke pulangannya, Gus Miek justru akan menggantikan seluruh pengajaran ngaji ayahnya, ter masuk mengajarkan kitab Ihya Ulumiddin.

Namun, beberapa bulan kemudian, Gus Miek kembali ke Lirboyo. Ketika masih di pesantren ini, pada usia 14 tahun Gus Miek pergi ke Magelang, nyantri di tempat KH Dalhar Watucongol, mengunjungi Mbah Jogoreso Gunungpring, KH Arwani Kudus, KH Ashari Lempuyangan, KH Hamid Kajoran, dan Mbah Benu Yogyakarta.

Setelah itu, Gus Miek pulang lagi ke Kediri. Di Ploso, di tempat pesantren ayahnya, Gus Miek kemudian minta dinikahkan dan akhirnya ia menikah dengan Zaenab, putri KH Muhammad Karangkates. Tapi, pernikahan ini berakhir dengan perceraian. Pada masa ini Gus Miek sudah sering pergi untuk melakukan dakwah kulturalnya di berbagai daerah, bertabaruk ke berbagai guru sufi, dan mendapatkan ijazah wiridwirid.

Pada 1960 Gus Miek menikah lagi dengan seorang perempuan bernama Lilik Suyati dari Setonogedong. Pernikahan ini dilaksanakan atas saran dari KH Dalhar dan disetujui KH Mubasyir Mundzir, salah satu guru Gus Miek. Gadis itulah yang menurut gurunya akan sanggup mendampingi hidupnya dengan melihat tradisi dan kebiasaan Gus Miek untuk berdakwah ke luar rumah.

Pada awalnya pernikahan Gus Miek dengan gadis Setonogedong itu ditentang oleh kedua orang tuanya. Tapi, setelah melalui proses yang panjang, akhirnya pernikahan itu disetujui. Saat itu, Gus Miek sudah berdakwah ke diskotek-diskotek, ke tempat perjudian, dan lain-lain. Dari berbagai perjalanan, riyadlah, dan tabaruk, Gus Miek akhirnya menyusun kem bali wirid-wirid secara tersendiri yang didapatkan dari para gurunya.

Pada awalnya Gus Miek mendirikan Jamaah Mujahadah Lailiyah pada 1962. Sampai pada 197,1 jamaah yang dirintis Gus Miek ini sudah cukup luas. Jamaah Mujahadah Lailiyah yang dibangunnya kemudian berkembang menjadi dzikrul ghafilin (peng ingat mereka yang lupa).

Gus Miek merupakan seorang hafiz atau penghafal Alquran. Karena, bagi Gus Miek, Alquran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Alquran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan.

Karena itu, di samping mengorganisasi dzikrul ghafilin, Gus Miek juga mengorganisasi sema'an Alquran pada 1986. Beberapa bulan kemudian sema'an ini dina makan Jantiko. Pada 1987 sema'an Alqur an Jantiko pun mulai dilakukan di Jember. Dibandingkan dzikrul ghafilin, jamaah Jantiko ini lebih cepat berkembang.

Pada 1989 Jantiko kemudian diubah namanya menjadi Jantiko Mantab atau Jantiko man taba. Ada juga yang mengartikan Mantab sebagai Majlis Nawaitu Tapa Brata. Dikatakan juga man taba itu berarti siapa bertobat. Jantiko Mantab ini kemudian berkembang ke berbagi daerah.

Perjuangan Gus Miek dengan dzikrul ghafilin, sema`an Alquran, dan tradisi sufinya ke tempat-tempat diskotek, tempat perjudian, dan lain-lain sangatlah tidak mudah. Di tengah-tengah jamiyah NU yang telah membakukan tarekat mu'tabarah, tradisi sufi Gus Miek mendapatkan perlawanan. Bahkan, penentangan datang dari orang yang sangat terkenal, sekaligus pernah menjadi gurunya di Lirboyo, yaitu KH Machrus Ali.

Kendati demikian, semua itu bisa dilewati Gus Miek dengan sabar. Yang paling menggemberikan karena KH Achmad Shidiq sebagai orang yang sangat dihormati di NU yang pada awalnya menentang tradisi sufinya, kemudian bersama-sama mengembangkan dzikrul ghafilin di Jember dan sekitarnya.

Gus Miek adalah salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur. Karena itu, wajar jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal.  

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement