REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES — Aktor Joaquin Phoenix mengaku bangga dengan perannya sebagai Joker dalam film terbaru dari DC Comics. Namun, pria berusia 44 tahun itu juga merasa kecewa karena beberapa adegan yang menurutnya sangat bagus malah harus dipotong.
“Untuk pertama kalinya dalam 25 tahun, saya menonton dan bersama sutradara Todd Phillips membicarakan tentang mana yang terbaik, namun adegan favorit saya dan bagian yang kami berdua pikir adalah adegan terbaik tidak akan ada di film,” ujar Phoenix seperti dilansir Fox News.
Menurut Phoenix, seperti layaknya puzzle, adegan yang dipotong atau diambil dari sebuah film akan memengaruhi adegan berikutnya secara keseluruhan. Ia mengatakan, dengan memangkas adegan terbaik, maka adegan berikutnya tidak akan menjadi benar-benar berhasil.
Film Joker yang dibintangi Joaquin Phoenix tayang awal Oktober di Indonesia.
Lebih lanjut, Phoenix mengatakan, ia bersama dengan Phillips telah melakukan percobaan dengan berbagai cara dan interpretasi berbeda mengenai Joker. Hal itu pada akhirnya membuatnya menjadi pemeran yang lebih kuat secara keseluruhan.
“Tampaknya ada banyak cara untuk menafsirkan setiap momen atau bagaimana dia bisa berperilaku dalam setiap saat. Dan tidak ada sesuatu yang tidak masuk akal," jelas Phoenix.
Aktor yang juga bermain dalam film Gladiator ini mengatakan ia akan mengambil adegan dengan cara-cara berbeda, seperti bisa menangis, bercanda, dan marah dalam satu waktu bersamaan. Ini adalah sesuatu yang sangat menyenangkan karena pada akhirnya itu membuat Phoenix menemukan sesuatu yang baru.
Sementara itu, sutradara Joker mengaku kesal dengan kritik bahwa film ini berpotensi menginspirasi kekerasan. Bahkan, menurut Phillips kritik itu datang sebelum mereka melihat dengan jelas isi keseluruhan film.
"Cukup menyusahkan saat menulis sebuah karya tanpa melihatnya. Bahkan, mereka mengatakan tidak perlu melihat untuk mengetahui (karya itu). Ini sangat mengejutkan,” ujar Phillips.
Phillips mengatakan bahwa merasa sangat kecewa dengan begitu mudahnya kritik yang datang terhadap karya film terbarunya. Berbalik dengan apa yang dikatakan tentang menginspirasi kekerasan dalam Joker, ia justru ingin agar orang-orang mengetahui dan mendiskusikan dengan tepat apa yang menyebabkan kekerasan, penggunaan senjata, hingga cara perawatan orang-orang dengan penyakit mental.
"Sebagian alasan kami membuat film ini adalah tanggapan terhadap dunia buku komik film. Seperti: Mengapa ini dirayakan? Mengapa ini lucu? Mengapa ini menyenangkan? Apa implikasi nyata dari kekerasan di dunia nyata?” jelas Phillips.
Karya film Phillips kali ini menjadi studi karakter tentang bagaimana seorang pria paruh baya bernama Arthur Fleck bertranfomasi menjad Joker. Digambarkan dalam film ini, Fleck pada awalnya bekerja menjadi badut sewaan, tinggal dengan ibunya di apartemen yang rusak.
Bahkan, Fleck memiliki kartu yang berisi penjelasan untuk ditunjukkan ke orang-orang bahwa ia memiliki masalah kesehatan yang membuatnya sering tertawa secara spontan. Karena itu, Phillips mengatakan bahwa Joker berisi kisah memilukan, di mana saat dunia tidak memiliki empati dan cinta, maka yang akan ada hanyalah terciptanya penjahat-penjahat.
Ini adalah peran yang sering mengharuskan Phoenix pergi ke sejumlah tempat untuk mendapatkan karakter Joker yang tepat. Phoenix juga meneliti sejumlah orang yang enggan disebutkan namany agar dapat sepenuhnya memerankan Fleck dan Joker.
"Beberapa orang yang saya pelajari, saya merasa yang mereka butuhkan adalah perhatian dan ketenaran. Tetapi aku merasa mereka tidak pantas mendapatkannya lagi,” kata Phoenix.