REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Duka masih menyelimuti Erizal (42), perantau asal Sungai Rampan, Koto Nan Tigo IV Koto Hilie, Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, yang kehilangan istri dan anaknya dalam kerusuhan di Wamena. Erizal sendiri selamat dari kerusuhan itu, karena berpura-pura mati.
"Alhamdulillah saya berhasil selamat dari peristiwa waktu itu, namun sayang anak dan istri saya meninggal dunia karena terbakar," kata Erizal saat memulai menceritakan kisahnya di kantor ACT Sumbar di Ulak Karang, Padang, Selasa (1/2).
Erizal menceritakan, saat kerusuhan terjadi dirinya sedang berada di sebuah kios tempatnya bekerja. Kemudian, sekelompok orang mendatangi beberapa kios, termasuk ke kios tempatnya bekerja. "Jumlah mereka sekitar 30-an orang dan kami sama sekali tidak mengenal mereka," ucapnya.
Ia beserta istri, anak dan beberapa orang lainnya mencoba menyelamatkan diri, namun terkepung di dalam rumah yang ada di belakang kios tersebut. Kerumunan tersebut mengetahui keberadaan mereka dan memaksa untuk membuka pintu.
"Salah seorang kemenakan saya yang bernama Yoga mencoba menahan pintu, namun mereka berhasil mendobraknya, sehingga kami dilempari, ditembaki dengan panah dan kami semua sudah pasrah mati," katanya.
Ia melanjutkan, kemenakannya yang bernama Yoga tersebut beserta anak dan istrinya meninggal dunia karena dianiaya oleh para pelaku. Sedangkan dirinya berhasil menyelamatkan diri karena berpura-pura mati di dalam rumah tersebut, namun ia tetap terkena luka bakar.
"Karena setelah kami dianiaya, rumah itu dibakar namun saya cepat bangkit dan menyelamatkan diri tapi tetap saja kepala dan tangan saya terbakar," kayanya.
Ia mencoba meminta bantuan kepada teman-teman yang ada di Kodim, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa dikarenakan mobil tidak bisa masuk ke sana. "Dua jam setelah itu barulah bantuan datang, saya langsung dibawa ke rumah sakit diobati pihak medis karena mengalami luka bakar di beberapa badan saya," ujarnya.
Erizal mempunyai dua orang anak, anak pertama bernama James Lugian Rizal (13), tengah sekolah di SMP Serambi Mekah, Padang Panjang dan anak keduanya telah meninggal dunia beserta istri tercinta. Ia mengatakan merantau ke Wamena sudah sekitar enam tahun lebih pergi berdagang mencari hidup, menafkahi keluarga dan mencari biaya untuk menyekolahkan anaknya.
"Selama enam tahun lebih di sana, hubungan saya dengan penduduk asli Papua baik-baik saja, kami tidak pernah ada konflik apapun," ujarnya.
Bahkan saat terjadi kericuhan pada 23 September 2019 penduduk di sana ikut membantu menyelamatkan mereka dari kericuhan. Ia berharap konflik tersebut bisa segera terselesaikan, sehingga tidak banyak lagi korban jiwa yang berjatuhan dan para perantau Minang di sana bisa segera dipulangkan dari Wamena.