REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat sebanyak 210 orang dilarikan ke rumah sakit akibat demonstrasi yang berujung ricuh pada Senin (30/9). Sebanyak 15 orang di antaranya harus menjalani rawat inap.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, demonstran paling banyak dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). "Kami mengerahkan 29 ambulans ke lokasi dan sampai dengan Selasa dini hari masih banyak petugas yang bekerja. Kebanyakan mereka dibawa ke RSPP," ujar Anies.
Ratusan orang yang akhirnya dibawa ke rumah sakit itu, kata Anies, mayoritas mengalami cedera fisik, sesak napas, dan kelelahan. Anies mengatakan, Pemprov DKI berkoordinasi dengan 24 rumah sakit yang ada di Jakarta untuk mempercepat proses penanganan pengunjuk rasa yang terluka.
DKI juga mengerahkan petugas kesehatan untuk mempercepat penanganan korban. Pengerahan itu, kata Anies, berdasarkan permintaan dari Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Bidokkes) Polda Metro Jaya. "Sekaligus kami memfasilitasi pembiayaan pengobatan bagi warga yang menjadi korban luka," katanya.
Demonstrasi terjadi di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia dalam beberapa hari terakhir sejak Senin (23/9) di gedung-gedung legislatif. Massa menuntut pembatalan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), UU KPK, dan peninjauan sejumlah RUU lainnya.
Di Jakarta, rangkaian aksi demonstrasi yang sering berlangsung hingga malam hari berujung ricuh. Selain menyebabkan korban luka-luka, demonstrasi juga membuat sejumlah fasilitas publik terganggu. Ruas jalan tol di depan gedung DPR/MPR tak bisa dilewati karena diblokade massa. Transportasi kereta api yang berelasi dengan Stasiun Palmerah pun harus dihentikan saat aksi berlangsung.
Aksi tak hanya diikuti mahasiswa. Pelajar pun turut berunjuk rasa. Pemprov DKI berencana mencabut hak penerimaan program bantuan pendidikan Kartu Jakarta Pintar (KJP) bagi pelajar pendemo yang terbukti melakukan tindakan kriminal.
"Kalau dia kriminal bisa pemberhentian KJP-nya. Tapi, kalau sifatnya ikut-ikutan, kena sanksi dari kepolisian, kita nasihati dan KJP-nya tetap jalan," kata Kepala Dinas Pendidikan DKI, Ratiyono, di Jakarta, Selasa (1/10).
KJP merupakan program DKI untuk membiayai pelajar yang kurang mampu agar bisa mengenyam pendidikan hingga tamat SMA/SMK. Program ini didanai dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
Ratiyono memastikan pihaknya tidak akan memberhentikan KJP begitu saja, tetapi mempertimbangkan sisi ekonomi keluarga pelajar tersebut. "Kalau dihentikan, sudah miskin ya ikut-ikutan rusak masa depannya. Tapi, kita tetap diingatkan," ujarnya.
Saat ini, kata Ratiyono, Pemprov DKI sedang memeriksa data pelajar yang tertangkap ketika berdemonstrasi. Pemprov DKI juga rutin berkomunikasi dengan Polda Metro Jaya untuk melakukan tindak lanjut terhadap pelajar tersebut.
Terkait pelajar yang ikut berdemonstrasi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengaku belum mendapat laporan daftar siswa dari pihak kepolisian. Walaupun nantinya terbukti ada pelajar yang berdemonstrasi, Muhadjir menegaskan tidak akan meminta pemerintah daerah untuk memberikan sanksi.
Menurut dia, pemberian sanksi tidak tepat dilakukan dalam dunia pendidikan. "Pendidikan masa main sanksi. Pokoknya kita menyadarkan melalui gubernur, wali kota, dan kepala dinas masing-masing," kata Muhadjir saat ditemui seusai upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila, di Jakarta, Selasa (1/10).
Muhadjir mengatakan, dirinya justru mendapat laporan dari pihak kepolisian bahwa ada orang yang menyamar menggunakan seragam sekolah saat berunjuk rasa. Para pendemo yang menyamar tersebut berjumlah sekitar 50 orang. "Mereka bukan siswa itu. Mereka pakai celana abu-abu tapi sebetulnya mereka bukan siswa," kata Muhadjir.
Kemendikbud sebelumnya telah berupaya mencegah pelajar untuk berunjuk rasa dengan mengirimkan surat edaran kepada pemerintah daerah agar melakukan upaya pencegahan keterlibatan siswa dalam aksi unjuk rasa. Imbauan tersebut tercantum dalam Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik dalam Aksi Unjuk Rasa yang Berpotensi Kekerasan.