REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Kabinet Pramono Anung buka suara untuk menanggapi kekhawatiran masyarakat terkait terpilihnya Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI periode 2019-2024. Kekhawatiran tersebut, yakni Puan yang berlatar partai politik PDI Perjuangan sama dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat kritik parlemen kepada pemerintah akan melempem.
"Dalam kehidupan demokrasi, kritik itu akan datang bertubi-tubi, mau ketua DPR PDIP atau apa, nggak ngaruh," kata Pramono, Rabu (2/10).
Pramono mengatakan rakyat masih memiliki kekuatan besar dalam menyampaikan aspirasi dan kritik kepada pemerintah, khususnya presiden. Hal ini, menurutnya, juga terjadi pada era DPR periode 2014-2019 yang dipimpin oleh Bambang Soesatyo dari Partai Golkar sebagai partai koalisi pemerintah.
"Sama aja. Tokh, bagian dari koalisi. Sehingga yang perlu dijaga adalah agar DPR baru sebelum bekerja, boleh dikritisi, tapi juga harus diberi kepercayaan melakukan perbaikan diri," katanya.
Pramono menyampaikan, dalam sistem demokrasi yang dijalankan Indonesia saat ini memang semua orang berhak menyampaikan kritiknya. Karena itu, Pramono berharap media massa bisa bertugas secara profesional dengan menyampaikan ruang bagi rakyat dalam menyampaikan aspirasi.
"Kemarin misalnya RUU KUHP, yang beredar kan lebih banyak hoaks-nya. Mereka belum baca substansinya. Tapi presiden sudah meminta untuk penundaan dan bicara secara mendalam kepada tokoh masyarakat, mahasiswa, dan perguruan tinggi," katanya
Pemerintah, ujar Pramono, menyadari bahwa pasal-pasal multitafsir dalam rancangan UU KUHP lebih baik dikeluarkan. Ia mengaku bahwa pemerintah belajar dari pelaksanaan UU ITE yang justru meresahkan masyarakat.
"Pasal-pasal yang menimbulkan kontroversi lebih baik dikeluarkan. Bagaimana pun jangan ada pasal yang multitafsir dalam pelaksanaan seperti UU ITE yang bisa multitafsir dan ini menimbulkan keresahan," katanya.