Kamis 03 Oct 2019 10:31 WIB

Saatnya Pemerintah Menerapkan Bioteknologi di Bidang Pangan

Indonesia saat ini dalam posisi rentan atau rawan kekurangan pangan jika ada gangguan

Focus Group Discussion para pemangku kepentingan bidang Bioteknologi Pangan.
Foto: Kementan
Focus Group Discussion para pemangku kepentingan bidang Bioteknologi Pangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia saat ini dalam posisi rentan atau rawan kekurangan pangan, bila ada gangguan pada produksi, baik akibat gangguan iklim atau dampak gangguan hama dan penyakit tanaman. Untuk itu diperlukan penerapan bioteknologi di bidang pangan.

Dengan jumlah produksi beras 32,42 juta ton dari total luas panen 10,9 juta hektare sawah dan konsumsi tahunan 29,78 juta ton hanya ada tersisa 2,64 juta ton (3,08 persen) yang bisa menjadi cadangan (data perbaikan produksi beras tahun 2018 dari BPS).

Dengan luas lahan yang makin terbatas, pertambahan jumlah penduduk yang pesat, dan SDM pertanian yang makin menyusut serta gangguan iklim, maka ancaman produksi meningkat. Oleh sebab itu, perlu ada cara untuk mengatasinya dan pilihannya adalah penerapan teknologi tinggi pada proses produksi pangan.

Saat ini, telah ada teknologi tinggi untuk menghasilkan pangan dan mampu secara efektif menjawab berbagai kendala peningkatan produksi, yaitu bioteknologi (Produk Rekayasa Genetik) di bidang pangan.

Namun ini belum digunakan di Indonesia, meskipun sudah banyak dimanfaatkan banyak negara maju. Sebagai contoh, Amerika Serikat memiliki luas tanaman berbasis bioteknologi terbesar di dunia yaitu 73,1 juta hektare untuk tanaman kapas, kedelai dan jagung. Negara lain yang juga menerapkan bioteknologi adalah Brazil dalam pertanaman kedelai. Saat ini mereka mampu swasembada BBM dari bahan minyak kedelai.

Dalam rilis Kementan diungkapkan fakta lain, yakni banyak komoditas pangan impor seperti kedelai dan jagung yang dikonsumsi sehari-hari, justru berasal dari produksi bioteknologi. Sementara Indonesia belum berani mengadopsi teknologi tersebut, karena penolakan sebagian masyarakat terkait keamanan pangan hayati dan juga dampak pemahaman yang tidak tepat.

Pada 1 Oktober 2019 di Jakarta, diselenggarakan diskusi terbatas (Focus Group Discussion) para pemangku kepentingan bidang Bioteknologi Pangan. Dalam forum ini telah dibahas potensi dan peluang penerapan bioteknologi di Indonesia guna menghadapi berbagai keterbatasan dan potensi ancaman produksi pangan.

Dari sisi teknis tampil sebagai narasumbernya Prof. Dr. Bambang Sugiharto penemu tebu transgenik 'tahan kekeringan' dari Center for Development of Advanced Science and Technology (CDAST) Universitas Jember dan dari aspek regulasi dibawakan oleh Prof. Dr. Bambang Prasetya, Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG).

Dalam FGD ini, semua pejabat eselon 1 atau yang mewakili hadir memberikan tanggapan dan masukan terhadap pemanfaatan bioteknologi. Dirjen Tanaman Pangan yang diwakili oleh Direktur Serealia Ir.Bambang Sugiharto, M.Eng.Sc menerima bioteknologi (PRG) untuk meningkatkan produksi pangan.

Sementara Dirjen Hortikultura Dr.Ir.Prihasto Setyanto mengatakan memerlukan teknologi unggul, termasuk biotek untuk mengembangkan kawasan produk hortikultura lima tahun ke depan. Bahkan, Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan Pending Dadih Permana dengan tegas mengatakan bahwa penerapan biotek di bidang pertanian tidak ada masalah karena sudah ada aturan tentang keamanan lingkungan, keamanan kesehatan dan keamanan pakan terhadap penggunaan Produk Rekayasa Genetik (PRG).

Menurut Prof. Bambang Sugiharto saat ini masih ada kekhawatiran di kalangan masyarakat akan bahaya yang mungkin timbul bagi kesehatan manusia, maupun keamanan lingkungan dari PRG untuk tujuan pemenuhan pangan. Bambang mengakui, keraguan akan keamanan tanaman PRG akan tetap ada selama jaminan keamanan masih belum bisa diberikan.

Untuk jaminan keamanan PRG, Ketua KKH PRG Bambang Prasetya mengatakan bahwa untuk jaminan keamanan bisa diawali dengan analisis dan kajian "Risk based Assesment" dengan pendekatan ke hati- hatian (precautionary approach). Menurutnya, berdasarkan penelitian, penggunaan teknologi PRG aman karena sudah lebih 25 tahun dimanfaatkan di berbagai negara untuk tanaman pangan, perikanan, peternakan dan kehutanan.

Saat ini kata Bambang, di Indonesia belum sepenuhnya sinkro antara kebijakan bahwa Indonesia menerima teknologi PRG dengan prinsip ke hati-hatian dalam implementasi di lapangan dalam kurun waktu lebih dari 15 tahun.

Untuk menjalankan prinsip kehati-hatian tersebut, Kementerian Pertanian saat ini tengah menyiapkan dua peraturan atau pedoman yaitu Pedoman Pelepasan Varietas Tanaman produk PRG dan Pedoman Pengawasan Paska Pelepasan Varietas PRG.

Ketua KTNA Winarno Tohir mengharapkan kedua pedoman tersebut dapat segera dirampungkan agar teknologi PRG ini dapat diterapkan oleh petani. "Kita sebenarnya sudah terlambat", kata Winarno.

Dulu tahunan 80an, petani Indonesia pernah membantu sumbangan pangan ke negara Afrika yang sedang dilanda kelaparan khususnya Ethiopia. Sekarang menurut laporan organisasi FSI (Food Sustainability Index) secara mengejutkan menempatkan Ethiopia menjadi negara adi daya pertanian dan ketahanan pangan yang menjadi peringkat 12 terbaik di dunia. Negara ini banyak mengalahkan negara lain, termasuk Indonesia pada urutan 21. Afrika Selatan urutan 16 dan Nigeria urutan 17. Pertanyaannya, kenapa Indonesia tertinggal ?. Kunci jawabannya ada pada teknologi.

Winarno menambahkan, hasil Rembug Utama KTNA di Pekanbaru, Riau tanggal 21-25 September 2019, petani dan nelayan Kelompok KTNA telah sepakat untuk menerapkan bioteknologi dalam meningkatkan produksi pangan menuju Indonesia lumbung pangan dunia. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement