Kamis 03 Oct 2019 16:20 WIB

Asal Mula dan Faktor Munculnya Pemalsuan Hadis Nabi

Pemalsuan hadis dimulai pada masa tabiin.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Umat Islam antre saat ingin beribadah di area saf Raudhatun Jannah/Raudhah (Taman Surga) di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi, Senin (6/5/2019).
Foto: Antara/Aji Styawan
Umat Islam antre saat ingin beribadah di area saf Raudhatun Jannah/Raudhah (Taman Surga) di Masjid Nabawi, Madinah, Arab Saudi, Senin (6/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa sekte setelah terjadinya fitnah, mengakibatkan timbulnya klaim dari masing-masing sekte mengenai bagaimana posisi mereka terhadap Alquran dan sunah.

Dalam kitabnya, Tarikh at-Tasyri’ al-Islamy, Syekh Manna al-Qathhan, menjelaskan, Sebagian dari beberapa sekte tersebut menakwilkan Alquran dengan tartil yang tidak sesuai dengan hakikatnya, dan menggiring dalil-dalil sunah ke dalam makna yang tidak seharusnya, bahkan jika Keinginan mereka untuk menampilkan sangat kuat maka mereka menisbahkan kepada Rasulullah sebuah perkataan yang belum pernah Nabi sabdakan untuk mendukung gagasan mereka, terlebih lagi mengenai keutamaan para imam mereka.

Baca Juga

Menurut Syekh Manna, para ulama telah menyebutkan bahwa indikasi pertama mengenai hal ini berasal dari kaum Syiah. Hal ini sama sekali belum pernah terjadi pada masa Rasulullah dan juga Tidak Pernah terucap dari lisan seorang sahabat pun. Adapun perbedaan yang terjadi di antara mereka, kata Syekh Manna, semata hanya merupakan perkara Ijtihad dalam agama, yang mana setiap mereka mengingkari kebenaran dan mengajak kepadanya, hanya saja pemalsuan itu muncul dari perselisihan politik yang terjadi pada masa tabiin.

Menurut Syekh Manna, ada beberapa faktor penting kenapa muncul pemalsuan hadist. Pertama karena perselisihan politik. Hal ini merupakan penyebab dasar terjadinya pendustaan atas Rasulullah. Imam Malik pernah ditanya mengenai Rafidhah, beliau pun menjawab. "Jangan berbicara dengan mereka, dan jangan meriwayatkan dari mereka, mereka adalah pendusta."

Syarik bin Abdullah al-Qadhi seorang Syiah moderat dalam ajaranya mengatakan, "Aku memikul ilmu dari siapa saja yang aku temui, kecuali Rafidhah, karena mereka telah memasukkan hadis dan menjadikannya yaitu kedustaan sebagai sebuah agama." Dengan ini Rafidhah merupakan kelompok yang paling banyak berdusta.

Hammad bin Salamah mengatakan, "Telah menceritakan kepadaku salah satu guru mereka yaitu Rafidhah, yang mengatakan, ‘Jika kita berkumpul dan kemudian menganggap ada sebuah perkataan yang baik’, maka kita menjadikannya sebagai sebuah hadis’. Ibnu Taimiyah telah menjelaskan hal ini dalam kitabnya Minhaj as-Sunnah.

Syekh Manna menyebutkan, di antara contoh pemalsuan hadis di kalangan kaum Rafidhah adalah. "Barangsiapa yang ingin melihat keilmuan Nabi Adam, ketakwaan Nabi Nuh, kesabaran Nabi Ibrahim, kemuliaan Nabi Musa, dan ibadah Nabi Isa maka lihatlah pada Ali.”

"Aku adalah timbangan ilmu, Ali adalah kedua neracanya, al-Hasan dan Husain adalah benang-benangnya, Fatimah pengikatnya, dan para imam dari kita adalah pilar-pilar yang ditimbang di dalamnya perbuatan-perbuatan orang yang mencintai kita dan membenci kita."

"Kecintaan terhadap Ali merupakan kebaikan yang dengan tidak akan berbahaya sebuah dosa, dan membencinya merupakan dosa yang dengannya tidak akan bermanfaat sebuah kebaikan."

Menurut Syekh Manna, riwayat-riwayat tersebut dan yang semisalnya tercium darinya aroma kedustaan dengan gambaran yang jelas.  

Faktor penting lain munculnya pemalsuan hadis adalah karena ateisme, fanatisme terhadap ras, pemimpin, atau negeri. Menganggap remeh perkara mengenai keutamaan-keutamaan amal, motivasi, serta ancaman.

Langkah ulama

Para ulama dalam menjaga sunah dan menentang gerakan pemalsuan hadis. Mereka telah banyak melakukan upaya untuk membedakan antara hadis sahih dan hadis dhaif, serta menempuh jalan terbaik untuk mengkritik dan menyaring hadis. 

“Maka umat kita berhak untuk bangga atas umat yang lain. Langkah-langkah terpenting yang mereka tempuh dalam merealisasikan hal tersebut pertama adalah seleketif dalam menerima sanad hadis dan kedua, mengkritik para perawi hadis,” tulis Syekh Manna.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement