REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, menyebut aturan perluasan ganjil genap tidak bisa meningkatkan kualitas udara DKI Jakarta. Ia pun mengkritisi aturan ini sebagai salah langkah.
"Aturan ganjil genap itu salah langkah, sesat pikir. Masalahnya yang jadi sumber utama pencemaran udara itu kendaraan sepeda motor. Sementara itu, dalam ganjil-genap hanya mobil yang dibatasi," ujar Safrudin kepada wartawan di kantor KPBB, Sarinah, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (3/10).
Dia memaparkan, berdasarkan data yang dicatat oleh KPBB, kendaraan yang menghasilkan jumlah polutan tertinggi per harinya adalah kendaraan bermotor dengan jumlah 8.500 ton atau 44,53 persen. Kemudian, diikuti bus dengan 4.106 ton atau 21.43 persen, lalu mobil pribadi 2.712 ton atau 16,11 persen.
Untuk itu, Safrudin menilai kebijakan perluasan ganjil-genap menjadi tidak relevan. "Selain itu kebijakan itu juga primitif. Setiap polisi pelototin terus kendaraan mobil yang lewat (di jalur yang kena ganjil genap)," lanjut dia.
Karena itu, KPBB bersama Koalisi Pejalan Kaki mengaku setuju apabila diterapkan aturan lain untuk mengurangi polusi udara di Jakarta dan mengurangi kemacetan. Salah satunya, aturan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar.
Perluasan ganjil-genap di DKI Jakarta resmi diberlakukan pada 9 september 2019. Para pengendara yang melanggar aturan ini akan dikenainsanksi denda Rp 500 ribu.
Kendati demikian, ada beberapa kendaraan yang tidak terkena aturan ganjil-genap. Kendaraan tersebut yakni sepeda motor, kendaraan listrik, kendaraan disabilitas, pemadam kebakaran, angkutan umum pelat kuning, angkutan barang khusus BBM dan BBG, kendaran pimpinan tinggi negara, kendaraan dinas operasional pemerintah, serta TNI, Polri kendaraan pejabat asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara, kendaraan tujuannya untuk melakukan pertolongan jika ada pelanggaran lalu lintas, dan kendaraan yang khusus dengan pengawalan kepolisian.