REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK— Banyaknya arus informasi dan pengaruh budaya menyebabkan minimnya kemampuan dalam pentashihan Alquran. Perlunya pengkaderan dalam pentashihan Alquran dalam upaya menjaga dan mengamalkan isi firman Allah SWT tersebut.
Hal tersebut diutarakan Pengasuh Pesantren Al-Hikam, KH Yusron Ash-Shidqi. "Kita berupaya membekali para mahasiswa penghafal Al-Quran ini dengan materi pentashihan. Negara hadir dalam upaya menjaga mushaf Alquran dan memuliakannya," ujar Yusron di Pondok Pesantren Al Hikam, Kukusan, Kota Depok, Kamis (3/10).
Pembinaan Pentashihan Mushaf Alquran kerjasama dengan Sekolah Tinggi Kulliyatul Qur'an (STKQ) Al-Hikam dan Lajnah Pentashihan Alquran (LPMQ) Badan serta Diklat Kementerian Agama RI.
Kegiatan tersebut diikuti 50 mahasiswa Al-Hikam yang rata-rata penghafal Alquran. Kegiatan yang berlangsung empat hari mulai pada Kamis (3/10) hingga Ahad (6/10). Kegiatan ini juga bagian dari studium general yang wajib diikuti mahasiswa.
Menurut Yusron, para lulusan STKQ Al-Hikam diharapkan turut andil dalam menjaga kemurnian mushaf Alquran. Jangan sampai, ditemukan mushaf Alquran yang beredar di masyarakat salah cetak.
"Kita menyambut baik acara yang bekerjasama dengan Kemenag, semoga ke depan bisa terus bersinergi,” tutur dia.
Dia mengatakan, sesuai dengan harapan almarhum KH asyim Muzadi agar lulusan Al-Hikam bisa berkontribusi langsung dalam bidang Alquran. Tentunya, dikemudian hari diharapkan ada dari lulusan ini bisa menjadi pentashih Alquran.
Salah satu narasumber Dr KH Ahsin Sakho Muhammad mengungkapkan untuk menjadi pentashih Alquran tidak hanya hafal Alquran. Namun, seseorang harus mampu menguasai ilmu lainnya. Di antaranya tafsir Alquran, ilmu Alquran, rasm Alquran, syakl, rasm Turki Usmani, qiraat sab'ah, waqaf dan ibtida’, Makki dan Madani, ilmu hadis, dan lainnya.
"Hanya di Indonesia saja para pentashih Alquran diperhatikan dan digaji negara. Inilah yang membedakan di Indonesia dan Negara lainnya. Terutama dalam menjaga keotentisitasan mushaf sebagai firman Allah," terangnya.
Dia menambahkan, pengalamannya saat melakukan pentashihan pada kata "auliya’" agak susah. Pasalnya, untuk mengartikannya harus menggunakan kata yang tepat. Sehingga, dia tetap menggunakan kata ‘auliya’ dalam terjemahannya.
Meski begitu, dirinya tetap menambahkan catatan kaki dengan kata shahib, teman terdekat. Dia mengingatkan jangan sampai mengambil langsung terjemahan Alquran sebagai sandaran pengambilan hukum. Sebab, makna dan arti Alquran sangat luas.
“Untuk memahaminya tidak hanya hafal dan terjemahan saja, tapi dibutuhkan ilmu-ilmu lainnya," papar Ahsin.