REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta untuk menyelesailan konflik yang pecah di Papua dengan mengedepankan dialog. Pengenalan lebih dalam berkenaan dengan masyarakat Papua juga akan membuat penangan kerusuhan di Bumi Cendrawasih itu nerjalan lebih tepat sasaran.
Asisten Staf Khusus Presiden RI 2009-2014 Bidang Pengembangan Daerah Moksen Idris Sirfefa mengatakan, pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu mengenal lebih jauh warga Papua. Dia melanjutkan, melalui pengenalan itu maka akan timbul solusi yang pas bagi konflik di kawasan tersebut.
"Kalau ada salah mengidentifikasi berarti akan salah menginjeksi obat yang pas. Nah tingkatan mengenal inikan banyak, maka kalau mau menyeksaikan harus pada tingkatan mengenal yang tinggi," kata Moksen Idris Sirfefa di Jakarta, Kamis (3/10).
Dia mengatakan, ada dua hal penting melihat Papua, pertama mencari jalan keluar. Dia menyambut positif keinginan Presiden Joko Widodo untuk menggelar dialog. Tinggal, lanjut dia, mencari pihak ketiga sebagai mediator diskusi antara pemerintah dan masyarakat yang berada di Papua.
"Mesti ada pihak ketiga yang memediasi dua pihak ini. Nggak usah ambil dari luar dulu karena ini masalah kita bersama," kata Moksen lagi.
Masalah kedua, dia mengungkapan, kurangnya literasi dan masalah di Papua yang berujung pada kehilangan kecerdasan kognitif dan spiritual masyarakat. Sehingga, dia mengatakan, memahami Papua jangan hanya melalui angka-angka namun harus dicari sisi lainnya.
"Jadi saya melihat bahwa ada persoalan ini yang kemudian tidak dimilik para pengambil kebijakan di pusat dan daerah, jadi salah identifikasi dan memahami dan salah melakukan injeksi dan kebijakan," katanya.
Pendekatan penyelesaian konflik di Papua melalui dialog juga dikatakan Pakar Psikologi konflik Ichsan Malik. Dia mengatakan, pemerintah harus menjadi bagian dari solusi atas konflik yang ada di Papua. Menurutnya, konflik dapat makin meluas karena respon yang salah.
Di saat yang bersamaan dia mengapresiasi langkah Presiden Jokowi untuk menggelar dialog dengan kubu oposisi pemerinah. Namun, dia mengingatkan perlunya mengontrol jumlah personel militer yang berada di daerah tersebut jika konflik telah terpecahkan.
"Kalau sekarang karena buat kemausiaan iya tidak masalah buat di Wamena. Yang penting dialog harus dikedepankan, demikian juga ada pihak ketiga sebagai mediator berasal dari dalam negeri saja," katanya.
Ketua Policy Center Iluni UI Muhammad Jibril mengungkapkan jika saat ini Iluni UI tengah melalukan kajian internal tentang model komunikasi konstruktif yang tepat untuk Papua. Dia mengatakan, Iluni menginginkan agar komunikasi konstruktif berdasarkan kajian itu memiliki prioritas yang baik.
"Kami sedang melakukan beberapa FGD, nanti juga akan bertemu beberapa stakeholder dari kalangan alumni terkait dengan isu papua ini tapi untuk waktunya masih tentatif karena prisesnya masih berjalan," kata Jibril.
Jibril mengungkapan, kajian yang sedang dilakukam itu tentu melinatkan akademisi sebagai insan intelektual. Menurutnya, akademisi merupakan posisi yang bebas dari nilai dan bisa diterima semua pihak manapun yang mungkin berada dalam pusaran konflik.
"Dan ini masalah sudah lama makanya posisi akademisi penting untuk melihat masalah itu dengan jelas," katanya.