REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pasukan keamanan Irak memberlakukan jam malam 24 jam di Baghdad, Kamis (3/10). Mereka juga menembakkan peluru tajam dan gas air mata untuk membubarkan unjuk rasa antipemerintah.
Sebanyak 21 orang tewas dan ratusan orang luka sejak aksi digelar pada Selasa (1/10). Untuk menumpas unjuk rasa, pihak berwenang juga memutus jaringan internet di sebagian besar wilayah Irak.
Pada Kamis, para pendemo masih turun ke jalan-jalan, termasuk Tahrir Square di Kota Baghdad. Mereka menentang pemberlakuan jam malam setelah digelarnya dua hari demonstrasi di sana. Ratusan demonstran lainnya pun mengalami luka-luka. Para korban tersebar di beberapa provinsi dan kota di Irak.
Kendati telah menimbulkan korban jiwa, hal itu tak menyurutkan massa untuk tetap melanjutkan demonstrasi. "Meskipun jam malam, kami akan melakukan protes untuk menuntut hak-hak kami. Kami ingin perubahan rezim," ujar seorang pengunjuk rasa, dikutip laman BBC.
"Mereka (aparat) telah menangkap orang-orang kami. Mereka telah melakukan hal-hal yang bahkan tidak mereka lakukan terhadap Daesh (ISIS). Mereka telah memukuli dan mempermalukan kami sambil menembakkan tembakan langsung. Apa yang kita lakukan? Apakah kita pengebom bunuh diri?" kata dia.
Perdana Menteri Irak Abdul Mahdi telah menyatakan penyesalan atas aksi kekerasan represif aparat terhadap demonstran. Dia pun berjanji akan mempelajari alasan di balik digelarnya demonstrasi.
"Kami menekankan kepada rakyat di negara kami bahwa prioritas kami adalah dan akan tetap fokus pada penyediaan solusi realistis radikal untuk banyak masalah yang telah terakumulasi selama puluhan tahun," kata Mahdi melalui akun Facebook-nya.
Sejak Selasa lalu, ribuan warga Irak telah turun ke jalan-jalan untuk memprotes angka penganggur yang kian tinggi, yakni mencapai 25 persen. "Kami menginginkan pekerjaan dan layanan publik yang lebih baik. Kami telah menuntut mereka selama bertahun-tahun dan pemerintah tidak pernah menanggapi," ujar Abdallah Wahid, seorang demonstran berusia 27 tahun, dikutip laman Aljazirah.
Demonstrasi awalnya digelar di Kota Basra, kemudian merebak ke wilayah-wilayah lainnya. Bentrok antara aparat dan demonstran pun tak terhindarkan. Pecahnya kericuhan menyebabkan jaringan internet di sebagian besar wilayah Irak terputus.
Menurut monitor keamanan siber Net Blocks, seperti dikutip laman the Guardian, awalnya pembatasan akses internet hanya diberlakukan terhadap situs-situs tertentu. Namun, pada Rabu lalu pembatasan akses diperluas dan menyebabkan sebagian besar wilayah Irak tak memiliki akses terhadap internet.
Net Blocks melaporkan pada Kamis pagi bahwa sekitar tiga perempat wilayah Irak, termasuk ibu kota Baghdad, tak terhubung ke internet. Hal itu terjadi setelah operator jaringan utama di sana, seperti Earthlink, Asiacell, dan Zain, sengaja melakukan pembatasan akses.
Pengunjuk rasa membawa bendera Irak dalam aksi protes di Baghdad, Irak, Rabu (2/10).
Sementara itu, bagian utara Irak, termasuk wilayah otonomi Kurdi, terhubung ke internet melalui sistem yang berbeda. Dengan demikian, wilayah itu tak terdampak pemadaman jaringan.
Irak diketahui tengah berjuang untuk memulihkan perekonomiannya setelah terlibat pertempuran selama tiga tahun melawan ISIS antara 2014 hingga 2017. Infrastruktur di negara itu porak-poranda akibat peperangan.
Banyak warga Irak menilai pemerintah telah gagal membangun kembali negara tersebut. Selain infrastruktur, peperangan melawan ISIS juga menyebabkan jutaan warga Irak mengungsi.
Pada Oktober tahun lalu Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan, hampir 4 juta warga Irak telah kembali ke rumah dan permukimannya masing-masing. Sebelumnya mereka telantar karena Irak tengah berperang melawan ISIS.
“Ketika ISIS menyebar di Irak pada 2014 dan akhirnya merebut sekitar sepertiga dari negara tersebut, hal itu memaksa 6 juta warga Irak melarikan diri demi keselamatan. Untuk kali pertama dalam hampir empat tahun, jumlah warga Irak yang telantar telah turun di bawah 2 juta. Hampir 4 juta telah kembali ke rumahnya,” kata IOM.
Mereka yang telah kembali ke rumahnya, sebelumnya mengungsi di provinsi utara Nineveh. Banyak pula dari mereka kembali ke Provinsi Anbar yang berbatasan dengan Suriah, tempat pertempuran besar terakhir melawan ISIS.
Menurut IOM, terdapat beberapa alasan yang mendorong warga Irak kembali ke permukimannya masing-masing antara lain situasi keamanan yang ditingkatkan dan ketersediaan perumahan. Ada pula dari mereka yang kembali karena didorong oleh tokoh masyarakat, teman, dan kerabat.
IOM mengungkapkan, saat ini masih terdapat sekitar 1,9 juta warga Irak yang telantar dan belum kembali ke rumahnya. “Mereka mengeluhkan kurangnya sarana dan kesempatan kerja serta ketidakamanan, kerusakan rumah, dan infrastruktur,” katanya. n kamran dikarma/reuters, ed: yeyen rostiyani