Mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bukanlah politisi pertama keturunan Tionghoa di Indonesia walau mungkin paling kontroversial. Bagaimana pergerakan para politisi Tionghoa di Indonesia setelah Ahok?
Itulah yang dibicarakan oleh Dirjen Kebudayaan Dr Hilmar Farid dalam konferensi internasional mengenai Tionghoa Indonesia yang diselenggarakan Herb Feith Indonesian Engagement Center Monash University hari Kamis (3/10/2019).
Hilmar Farid hadir di kampus Monash University di Melbourne sebagai salah satu dari dua pembicara utama dalam konferensi yang berlangsung 1-3 Oktober 2019 tersebut. Konferensi ini membahas masalah Tionghoa Indonesia dari berbagai sudut mulai dari sejarah, budaya, sampai ke politik.
Pembicara utama lainnya adalah Prof Karen Strassler dari Amerika Serikat yang membeberkan penelitiannya mengenai peran warga Tionghoa di dunia fotografi di Indonesia.
Sebagai salah satu politisi yang mendominasi pemberitaan di Indonesia paling tidak selama lima tahun terakhir, Ahok menjadi titik bahasan utama Hilmar Farid untuk menggambarkan sepak terjang warga Tionghoa Indonesia di dunia politik terutama sejak reformasi 1998.
Lebih banyak dikenal setelah menjadi Wakil Gubernur Jakarta di tahun 2012 dan kemudian menjadi Gubernur di tahun 2014, Ahok sebelumnya pernah menjadi Bupati di tanah kelahirannya, Bangka Belitung.
"Namun Ahok bukanlah orang Tionghoa Indonesia pertama yang menjadi kepala daerah lewat pemilihan langsung. Yang pertama adalah Yansen Akun Effendy yang menjadi Bupati Sanggau (Kalimantan Barat) di tahun 2003. Ahok menjadi Bupati di tahun 2005," kata Hilmar Farid.
Hilmar Farid juga menampilkan tabel sejumlah politisi Tionghoa Indonesia yang pernah menjabat dan masih menjabat di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam pembahasannya, Hilmar Farid kemudian mencoba menjawab pertanyaan apakah dengan apa yang dialami Ahok, apakah ini berarti berakhirnya keterlibatan Ahok secara pribadi maupun warga Tionghoa dalam politik di Indonesia?
"Apakah karir politik Ahok sudah berakhir atas apa yang sudah dialaminya sejauh ini? Mungkin saja begitu dalam waktu dekat sekarang ini."
Namun menurut Hilman Farid, ide-ide yang sudah dilakukan Ahok ketika menjadi Gubernur Jakarta, dalam soal memberantas korupsi dan menciptakan tata pemerintahan yang lebih baik, sekarang terus berlanjut.
Antara lain dengan berdirinya partai politik baru seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diketuai oleh Grace Natalie.
Walau PSI tidak berhasil mendapatkan cukup suara untuk menjadi partai di tingkat nasional, namun mereka berhasil menempatkan wakil di DPRD di beberapa daerah.
"Ada sekitar 67 anggota DPRD dari PSI di beberapa provinsi. Bahkan di Jakarta, PSI memiliki 8 orang anggota DPRD sehingga mereka bisa membentuk fraksi sendiri dan bisa mengajukan calon gubernur nantinya," kata Hilmar.
Di tingkat nasional beberapa calon legislatif dari PSI sebenarnya mendapat suara banyak di daerah pemilihan DKI Jakarta.
Ketua PSI Grace Natalie misalnya menurut data yang dipaparkan Hilman Farid mendapat suara tertinggi di Daerah Pemilihan Jakarta III, mengalahkan calon dari partai-partai yang lebih mapan yang lolos ke DPR RI.
Grace Natalie mendapat suara 179.949 lebih tinggi dari perolehan suara Adang Dorodjatun dari PKS di tempat kedua yang mendapat 115.649 suara, dan Darmadi Durianto dari PDIP dengan 105.243 suara.
Calon PSI lainya di daerah pemilihan DKI Tsamara Amany berada di tempat kedua dengan pendapatan 143.167 suara, hanya kalah dari calon dari PKS Hidayat Nur Wahid yang mendapatkan 281.372 suara.
"Salah satu hal yang dilakukan PSI ketika para anggotanya sudah terpilih adalah mereka mengadakan workshop mengenai anti korupsi. Jadi tampak di situ apa yang dijalankan oleh Ahok dilanjutkan," kata Hilmar lagi.
Dari apa yang sudah terjadi sejauh ini dalam dunia politik Indonesia, Hilmar Farid melihat bahwa masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan bahwa Tionghoa Indonesia akan 'mundur' lagi dari dunia politik setelah melihat apa yang dialami Ahok.
Dan secara keseluruhan menurut Dirjen Kebudayaan ini, memperjuangkan apa yang dialami dan dirasakan oleh kelompok Tionghoa Indonesia dalam soal diskrminasi agama, ras dan yang lain, menurutnya lebih baik tetap dilakukan lewat sistem yang ada.
"Menurut saya pelajaran yang bisa kita ambil adalah bahwa perjuangan misalnya mengenai UU Kewarganegaraan, atau Surat Bukti Kewarganegaraan berkenaan dengan masalah yang dihadapi Tionghoa Indonesia berkenaan dengan diskriminasi agama, dan yang lain, haruslah menjadi bagian dari perjuangan sosial yang lebih besar yang dilakukan yang lain," kata Hilmar.
Konferensi internasional berjudul Identitas dan Sejarah Tionghoa Indonesia merupakan salah satu kegiatan terbesar membahas keberadaan Tionghoa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Dekan Fakultas Seni Universita Monash Prof Karen Pickering mengatakan ada sekitar 60 pembicara yang hadir dari empat benua dan tujuh negara menampilkan topik dari sejarah, budaya, kuliner, arsitektur, gender, HAM, agama sampai dengan kegiatan seni kontemporer sekarang.
Mereka yang hadir termasuk akademisi, wartawan, pejabat pemerintah, guru, dan juga artis, dengan separuh pembicara berasal dari luar Australia dan sepertinya berasal dari Indonesia.
Simak berita-berita lainya dari ABC Indonesia