Jumat 04 Oct 2019 15:34 WIB

Ngabalin: Mahasiswa Jangan Ancam Presiden Soal Perppu

Ngabalin meminta mahasiwa berdiskusi dengan nalar yang baik.

Rep: Dian Erika/ Red: Teguh Firmansyah
Tenaga Ahli Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin.
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Tenaga Ahli Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin, meminta mahasiswa tidak mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ngabalin mengingatkan pertimbangan soal kondisi genting dan memaksa merupakan hak subjektif Presiden. 

"Saya mau katakan, yang tahu tentang kegentingan itu adalah hak subjektif Presiden. Itu menurut UUD 1945. Sebagai generasi baru dan masyarakat intelektual, jangan membiasakan diri melakukan tekanan. Mengancam itu tidak bagus, sehingga jangan pernah memberikan batas waktu kemudian mengancam, " ujar Ngabalin kepada wartawan usai mengisi diskusi di Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (4/10). 

Baca Juga

Dia melanjutkan, mahasiswa hendaknya berdiskusi dengan nalar yang baik.  Terlebih, jika mendiskusikan persoalan penting bersama kepala staf Kepresidenan. 

Ngabalin pun meminta mahasiswa menggunakan narasi yang baik untuk menyampaikan pendapat soal UU KPK. Tidak hanya menghadapi pemerintah, narasi mahasiswa juga disimak oleh masyarakat Indonesia.

photo
Ribuan mahasiswa memadati Jalan Gerbang Pemuda menuju depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (30/9/2019). Aksi mahasiswa ini untuk mendesak DPR membatalkan revisi UU KUHP dan UU KPK..

Lebih lanjut, Ngabalin mengatakan Presiden Jokowi sama sekali tidak ragu dengan UU KPK hasil revisi yang sudah disahkan oleh DPR. Keberadaan UU yang mengatur lembaga antirasuah itu pun merupakan keputusan politik secara kenegaraan.

Sementara itu, saat disinggung soal sikap Presiden yang cenderung mengulur waktu untuk menerbitkan perppu, Ngabalin tidak sepakat.  Dia menilai ada banyak hal yang harus dipertimbangkan Jokowi.  

"Sebagai bapak dari 270 juta rakyat indonesia kan beliau mesti  mendengar ada masukan, ada pikiran, ada kritik juga ke Presiden,  sehingga Papak presiden harus membuka diri terbuka. Ini kan orang Solo, orang Jawa, jadi juga tidak tergesa-gesa mengambil keputusan kan,  jadi kasih ruang waktu. Tidak ada masalah insyaaallah," tambahnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement