Jumat 04 Oct 2019 17:35 WIB

Pasar Minuman Berkarbonasi Diprediksi Turun

Tren konsumsi kopi di kalangan milenial menggantikan minuman berkarbonasi.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Barista menuang kopi saat kegiatan West Java Coffee & Art dan HUT ke-57 Bank BJB di Bandung, Jawa Barat, Jumat (11/5).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Barista menuang kopi saat kegiatan West Java Coffee & Art dan HUT ke-57 Bank BJB di Bandung, Jawa Barat, Jumat (11/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebutuhan konsumsi terhadap minuman ringan berkarbonasi diprediksi menurun. Hal ini karenak adanya pergeseran konsumsi, utamanya di kalangan milenial yang cenderung gemar mengkonsumsi kopi.

Wakil Ketua Umum Bidang Moneter, Diskal, dan Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Raden Pardede mengatakan, hengkangnya Pepsi dari Indonesia menjadi sinyal bagi perusahaan minuman ringan berkarbonasi untuk mengetatkan strategi pasar. Alasannya, tren konsumsi kopi di kalangan milenial saat ini terus meningkat.

Baca Juga

“Bisa jadi (hengkangya Pepsi) ini karena persaingan dengan dunia usaha. Sekarang ini kan ada tren dari milenial untuk minum kopi,” kata Pardede saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (4/10).

Dia menjelaskan, tren minum kopi di masa lampau tak terlalu tinggi. Saat ini, tren konsumsi kopi justru seakan membudaya sehingga membuat banyaknya gerai-gerai kafe kopi yang berdiri akhir-akhir ini. Dia menduga, setelah Pepsi akan ada perusahaan minuman berkarbonasi lainnya yang ikutan tergerus persaingan usaha.

Hanya saja pihaknya mengatakan, hengkangnya Pepsi dari Indonesia bisa jadi merupakan angin baik bagi dunia bisnis apabila diarahkan ke arah yang lebih produktif dari sektor minuman kopi oleh pemerintah. Menurut dia hal ini bisa jadi momentum untuk menumbuhkan produksi kopi baik mentah maupun olahan.

Indonesia memang dikenal dengan beberapa varian kopi yang cukup mendunia, seperti Kopi Gayo, Kopi Kintamani, dan Kopi Toraja. Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian (Kementan) luas lahan perkebunan kopi di Indonesia berjumlah 1,24 juta hektare dengan produktivitas mencapai 775 kilogram (kg) atau 0,78 ton per hektare.

Sementara itu Peneliti Bidang Pangan dari Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Felippa Amanta mengatakan, terdapat tren penurunan produksi kopi di Indonesia tiap tahunnya. Penurunan tersebut terjadi karena sejumlah masalah antara lain jumlah pohon kopi yang sudah terlalu tua serta minimnya nilai tambah produksi. Padahal, pasar kopi baik lokal dan internasional terbilang besar.

“Pasarnya sudah ada, tapi memang produksi kita belum bisa mengimbangi,” kata Felippa.

Berdasarkan catatan CIPS, produksi kopi nasional pada 2012 sebesar 691,163 ton dan menurun drastis menjadi 668,677 ton pada 2019. Data tersebut CIPS dari berbagai sumber yang salah satunya dari Kementan. Namun Felippa mengakui, keabsahan data dari Kementan masih kerap dikritisi keakuratannya.

Untuk itu dia menilai, apabila tren konsumsi kopi mendapatkan momentum yang tepat, pemerintah perlu menyingkronkan data produksi guna menyusun kebijakan-kebijakan yang akurat di lapangan. Hanya saja menurut dia, hengkangnya Pepsi dari Indonesia bukan hanya terjadi akibat adanya tren konsumsi kopi yang bertumbuh di kancah domestik.

“Banyak hal (yang membuat Pepsi hengkang), misalnya seperti regulasi-regulasi yang memberatkan bahan baku minumannya. Atau mungkin juga adanya sertifikasi yang juga dinilai memberatkan perusahaan,” ujarnya.

Hanya saja dia menegaskan, peluang konsumsi kopi domestik yang tumbuh saat ini juga perlu dimanfaatkan pemerintah untuk membenahi sektor hulu hingga hilir bisnisnya. Misalnya, dia menjabarkan, pemerintah perlu menyingkronkan koordinasi antar-kementerian dan juga dengan daerah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement