REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dominasi pendukung pemerintah di kamar legislatif dikhwatirkan mematikan fungsi kontrol terhadap eksekutif. Pengampu ilmu politik di Universitas Indonesia (UI) Profesor Arbi Sanit memprediksi, relasi politik antara pemerintah dan dewan dalam lima tahun mendatang, mengancam munculnya kekuasaan yang 'bertangan besi'.
Situasi tersebut dikatakan dia, dikhawatirkan akan memunculkan instabilitas sosial yang menghadapkan negara dengan masyarakat. “Kalau demokrasi terancam dengan dukungan pemerintah yang terlalu kuat di parlemen, dia dikhawatirkan akan semena-mena secara sendiri (eksekutif), atau bersama-sama (penguasan dan parlemen),” ujar Arbi saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (4/10).
Arbi menganggap, kekuasaan yang jomplang antara partai koalisi dan oposan di parlemen, membuat pemerintahan mendatang akan sulit diawasi. Meski secara kebijakan, pemerintah tidak akan sulit dapat dukungan dari DPR. “Pemerintah memang akan lenggang kangkung (tanpa beban) saja. Karena dia banyak dukungan (di parlemen),” sambung Arbi.
Kepemimpinan nasional 2019-2024, akan dimulai setelah pelantikan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Maruf Amin, pada 20 Oktober mendatang. Sebelum pelantikan, beberapa hari lalu, regenerasi di kamar legislatif sudah sah setelah pelantikan dan penunjukkan ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta satu kamar supralegislatif Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk periode 2019-2024.
Menengok komposisi, DPR dikuasai oleh para partai penyokong pemerintah dengan 54 persen perolehan suara dari lima partai. Suara besar penguasaan partai-partai koalisi pemerintah di DPR, bisa bertambah karena masih ada dua partai lainnya, yakni PAN, dan Demokrat yang masih dalam posisi mengambang antara mendukung atau menjadi oposan.
Sedangkan Gerindra dan PKS, sejak awal sudah mendaklarasikan diri sebaga dua fraksi oposan dalam lima tahun mendatang. Meski semua kemungkinan bisa saja terjadi jelang pelantikan.
Di lini kepemimpinan legislator, PDI Perjuangan, sebagai partai utama pemerintah berhasil mengantarkan kadernya, Puan Maharani sebagai Ketua DPR. Di posisi DPD, tokoh pendukung Jokow-Amin dari Jawa Timur (Jatim), La Nyalla Matalliti pun berhasil menguasai kursi Ketua Senator. Sedangkan di MPR, Golkar, partai terbesar kedua pendukung Jokowi-Maruf, juga berhasil mengantarkan kadernya Bambang Soesatyo menduduki ketua MPR, kamar gabungan antara DPR dan DPD.
Komposisi tersebut, lanjut Arbi, sebagai gambaran relasi politik antara Presiden, dan DPR, MPR, dan DPD dalam lima tahun mendatang. Ada dua kemungkinan. Pertama ia menjelaskan, eksekutif dengan dukungan legislatif yang mayoritas, memicu pemerintahan yang semena-mena.
Namun bisa juga nominasi partai-partai koalisi dan penyokong pemerintah di DPR, DPD, dan MPR juga sebetulnya memicu para legislator mengeraskan kehendak untuk selalu mendikte pemerintahan yang sedang berjalan.
Akan tetapi, kata Arbi yang paling dikhawatirkan sebetulnya adalah relasi yang kuat antara pemerintah dan para pendukungnya di kamar legislator. “Yang berkuasa akan semena-mena dengan dominasi dukungan parlemen yang seharusnya menjadi lembaga pengontrol kekuasaan. Yang berkuasa akan sulit dikontrol, sulit diawasi, dia akan menang terus dalam setiap lobi politik. Itu kemungkinan yang paling riil dalam lima tahun ke depan,” kata dia.
Meskipun, Arbi melihat, upaya mendikte pemerintah oleh partai-partai pendukung dari parlemen, mulai terasa dengan upaya menjegal Perppu KPK.
Jika satu dari dua situasi itu yang terjadi, menurut Arbi, sebetulnya bukan kondisi politik yang tentram akan terjadi dalam satu periode mendatang. Melainkan, memicu instabilitas sosial dari akar rumput.
Karena, menurut Arbi, ada masyarakat yang mulai kembali menyadari perannya sebagai kelompok yang dapat menekan pemerintahan, pun parlemen lewat aksi-aksi jalanan, dan demonstrasi.
“Inilah yang saya khawatirkan. Satu-satunya sistem kontrol politik yang tersisa untuk menjadi penyeimbang lima tahun mendatang, ada di tangan rakyat. Demonstrasi akan di mana-mana untuk menjawab ancaman kekuasan yang terlalu dominan,” ujar Arbi.