REPUBLIKA.CO.ID, BAGDAD – Sebanyak 41 orang meninggal dunia dan 1.623 orang lainnya cedera dalam protes yang berlangsung selama tiga hari di Irak.
Atas kondisi tersebut, Perdana Menteri Irak, Adil Abdul-Mahdi, mengatakan pemerintah perlu berbuat lebih banyak untuk memberantas korupsi. Anggota Komisi Tinggi Independen untuk Hak Asasi Manusia Irak, Ali Akram al-Bayati, mengatakan korban jiwa yang berjatuhan terdiri dari petugas keamanan dan pengunjuk rasa. Sebanyak 38 orang dari pengunjuk rasa dan tiga dari petugas keamanan telah meninggal dunia dalam proses besar itu.
Al-Bayati mengatakan, sebanyak 363 personel keamanan Irak dan 1.261 demonstran terluka. Sedangkan sebanyak 454 orang ditahan pasukan keamanan Irak sejak protes meletus di beberapa kota Irak pada hari Selasa.
Dari jumlah 454 yang ditahan, baru 287 telah dibebaskan. Al-Bayati meminta organisasi internasional untuk segera membantu ratusan orang yang terluka ketika rumah sakit kehabisan persediaan darah.
Amnesty International mendesak pemerintah Irak untuk melakukan penyelidikan yang segera dan independen terhadap kekerasan berlebihan yang digunakan terhadap para demonstran.
Hal ini mengingat jumlah korban meninggal dan terluka terus bertambah. Ribuan orang terlibat dalam protes serempak Irak dan menjadi yang terbesar dalam beberapa dasawarsa. Unjuk rasa ini dipicu frustrasi atas dugaan korupsi pemerintah, kurangnya layanan dasar, dan meningkatnya pengangguran.
Menteri Dalam Negeri dan Kesehatan Irak menyatakan, pasukan keamanan menembakkan gas air mata, meriam air, dan amunisi untuk membubarkan massa. Menteri pertahanan Irak telah memerintahkan angkatan bersenjata negara itu untuk siaga tinggi dan mengirim pasukan keamanan tambahan ke Bandara Internasional Baghdad.
Dalam pidato konsiliatoris yang disiarkan televisi negara pada Jumat (4/10) pagi waktu setempat, Perdana Menteri menyebut, tuntutan para demonstran untuk kesempatan kerja dan reformasi komprehensif memang harus dilakukan. Pemerintah perlu mengerahkan upaya lebih besar untuk memerangi korupsi.
Abdul-Mahdi mengatakan, pemerintah akan segera menghadirkan sebuah proyek untuk menawarkan upah dasar bagi orang miskin, sehingga semua keluarga Irak dapat hidup secara layak.
"Setiap orang harus menghormati aturan hukum yang dengannya setiap orang dapat hidup dalam keamanan dan stabilitas," ujarnya, dikutip dari CNN, Sabtu (5/10).
Sebelumnya, Abdul-Mahdi telah berjanji mencoba memberikan pekerjaan kepada lulusan universitas dan semua kontrak dengan perusahaan asing akan menetapkan 50 persen dari pekerjaan tersebut harus diberikan kepada warga Irak.
Dia pun telah mengadakan pertemuan darurat dengan anggota Dewan Keamanan Nasional untuk membahas peristiwa itu.
Meskipun jam malam diberlakukan di Baghdad dan beberapa kota lain, protes sporadis berlanjut terus. Pihak berwenang pun memberlakukan pemadaman internet dan mematikan 75 persen dari internet di seluruh negeri.
Menurut Netblocks, sebuah LSM yang memantau gangguan internet, hingga Kamis malam, 60 persen konektivitas internet telah dipulihkan.
Koalisi pimpinan Amerika Serikat melawan ISIS menyerukan semua pihak untuk mengurangi ketegangan. "Kehilangan nyawa dan cedera, di antara warga sipil dan Pasukan Keamanan Irak, sangat memprihatinkan. Kami percaya aksi damai publik adalah elemen fundamental dari semua negara demokrasi, tidak ada tempat untuk kekerasan," juru bicara koalisi Kolonel Myles B Caggins III pada Kamis.
Kementerian Luar Negeri Bahrain menyerukan semua warganya di Irak untuk meninggalkan negara itu segera demi keamanan dan keselamatan. Tidak disarankan untuk Bahrain melakukan perjalanan ke Irak.