REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Penguasa Irak mencabut larangan keluar rumah yang sudah berlangsung beberapa hari di Baghdad, Sabtu (5/10). Larangan itu ditentang oleh pemrotes antipemerintah, sementara jumlah korban tewas dalam kerusuhan naik menjadi 72 dan ratusan orang menderita luka-luka.
Lalu lintas berlangsung normal di ibu kota Irak. Jalan-jalan dan sejumlah lapangan utama relatif sepi. Rintangan beton menghalangi kawasan tempat para pengunjuk rasa bentrok dengan polisi selama sepekan.
Para pejabat dari kantor Perdana Menteri Adel Abdul Mahdi bertemu pemimpin protes dari Baghdad dan provinsi-provinsi lain guna membahas tuntutan mereka. Menurut laporan TV, Abdul Mahdi dan Presiden Barham Salih mengatakan mereka berusaha memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut. Tapi tidak ada rincian bagaimana mereka akan menanggapi.
Pihak berwenang tidak mengatakan mengapa larangan keluar rumah tersebut dicabut. Ketua parlemen negara itu mengusulkan perbaikan perumahan bagi orang miskin dan peluang pekerjaan bagi anak muda dan juga memeriksa mereka yang telah membunuh para pemerotes, Jumat.
Irak mengalami kerusuhan paling mematikan itu sejak ISIS dikalahkan pada 2017 dan mengguncang pemerintahan Abdul Mahdi yang baru setahun. Pemerintah menanggapi dengan janji-janji perbaikan yang samar.
Komisi Tinggi HAM yang semiresmi mengatakan passukan keamanan telah menahan ratusan orang karena berunjuk rasa tetapi kemudian melepaskan kembali mereka. Lebih 3.000 orang luka-luka dalam kerusuhan yang terjadi beberapa hari.
Para penembak jitu dari kepolisian menyerang para pemrotes pada Jumat. Pasukan keamanan kemudian melepaskan peluru tajam, gas air mata, dan menembakkan air.
Pasukan keamanan telah menuding para pria bersenjata yang bersembunyi di antara pengunjuk rasa menembak polisi. Beberapa personel polisi meninggal. Protes-protes tersebut terjadi akibat distribusi pekerjaan yang tidak jujur, ketiadaan layanan dan korupsi pemerintah pecah pada Selasa di Baghdad dan dengan cepat menjalar ke kota-kota lain di Irak, terutama di bagian selatan.