REPUBLIKA.CO.ID, SOLOK – Kinerja komoditas kakao saat ini menunjukkan performance yang cukup prospektif dipandang dari aspek agribisnis karena pertumbuhan konsumsi dunia cenderung meningkat signifikan. Namun konsumsi kakao masyarakat Indonesia saat in relatif rendah yaitu rata-rata 0,4 kg/kapita/tahun sedangkan negara-negara Eropa sudah mencapai 8 kg/kapita/tahun.
Hal ini ditambah dengan pengembangan perkebunan kakao nasional saat belum optimal, masih banyak kendala baik di hulu maupun di hilir yang memerlukan penanganan yang lebih intensif, terintegrasi dan berkelanjutan. Karena itu, Direktorat Jenderal Kementerian Pertanian terus melakukan upaya dalam menghadapi tantangan pengelolaan perkebunan kakao nasional.
Menurut Direktur Jenderal Perkebunan Kasdi Subagyono, permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan kakao di Indonesia antara lain dampak perubahan iklim yang mengakibatkan perubahan perilaku OPT. Kemudian, kondisi tanaman yang sudah tua dan tidak produktif, kurangnya intensitas pemeliharaan kebun (terutama perkebunan rakyat), serangan OPT dan belum diimplementasikannya Good Agricultural Practices (GAP) secara konsisten.
Selanjutnya, terjadinya degradasi tanah dan penanganan pascapanen belum sesuai GHP dan sebagian besar biji kakao belum difermentasi. Selain itu, meningkatnya harga agro input seperti pupuk dan pestisida.
Kemudian, masih terbatasnya kemitraan antara pengusaha atau industri dengan pekebun. Dan yang terakhir, akses terhadap permodalan untuk pengembangan komoditi kakao masih sangat terbatas.
“Ini karena sertifikasi kebun belum terlaksana dengan baik, sehingga petani tidak memiliki agunan untuk pengajuan kredit perbankan,” kata Kasdi saat member sambutan pada puncak peringatan Hari Kakao Indonesia 2019 di Universitas Muhammad Yamin, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, Sabtu (5/10).
Direktur Jenderal Perkebunan Kasdi Subagyono memberikan sertifikat dan piala kepada kelompok tani dari Lombok Utara yang menjadi pemenang lomba kebun kakao berproduksi tinggi di acara puncak peringatan Hari Kakao Nasional 2019 di Kabupaten Solok, Sumatra Barat, Sabtu (5/10).
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Kasdi mengatakan pihaknya telah melakukan berbagai upaya. Yaitu, Gernas Kakao pada 2009 - 2013 dan pengembangan kakao berkelanjutan yang hingga tahun 2019 telah mencapai lebih dari 477 ribu hektare melalui kegiatan utama perluasan, peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi.
Pada 2019 ini, telah dialokasikan kegiatan pengembangan kakao seluas 7.730 hektare melalui kegiatan peremajaan dan perluasan yang didukung operasional substation dan pilot project fertigasi kakao. “Selain itu juga telah diluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus perkebunan yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh petani di Indonesia,” kata Kasdi.
Selanjutnya, benih merupakan salah satu faktor penting dalam mendongkrak peningkatan produksi. Oleh karena itu, Kasdi mengatakan pihaknya saat ini sedang membuat grand design BUN500 untuk memenuhi kebutuhan benih sepuluh komoditi unggulan perkebunan salah satunya adalah kakao melalui pembangunan logistik benih, nursery modern dan kebun induk di sentra pengembangan komoditi. “Program besar ini memerlukan dukungan seluruh stakeholder perkakaoan nasional,” katanya.
Menurut Kasdi, komoditas kakao merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan Indonesia yang memegang peranan cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Yakni, sebagai penghasil devisa negara, sumber pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja, mendorong agribisnis dan agroindustri serta pengembangan wilayah.
Saat ini luas areal pengembangan kakao mencapai 1,6 juta hektar dengan produksi sekitar 593 ribu ton menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara produsen terbesar dunia (posisi ke-4). Komoditas kakao juga merupakan komoditas sosial, dalam arti usaha perkebunan kakao tersebut hampir 97 persen diusahakan oleh perkebunan rakyat yang melibatkan sekitar 1,7 juta KK.
“Di sisi lain komoditas kakao memberikan sumbangan dalam perolehan devisa sebesa 1,24 miliar dollar AS dan merupakan penghasil devisa terbesar ketiga sub sektor perkebunan setelah kelapa sawit dan karet,” kata Kasdi.
Produksi kakao dunia saat ini mencapai sekitar 4,79 juta ton yang sebagian besar dipasok oleh Pantai Gading (43 persen), Ghana (20 persen), Ekuador (6 persen), Indonesia (6 persen) dan sisanya oleh negara-negara produsen lainnya yang relatif kecil.
“Pada kondisi ekonomi yang melambat saat ini, kita harus pandai menangkap peluang terbukanya pasar baru untuk komoditas kakao seperti China, Rusia, India, Jepang dan Timur Tengah disamping negara pengimpor lama seperti Eropa dan Amerika Serikat yang cukup memberikan dampak positif dalam perekonomian nasional,” kata Kasdi.
Perkebunan kakao di Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok, Sumatra Barat.