REPUBLIKA.CO.ID, TULUNGAGUNG -- Jumlah petani yang bercocok tanam tembakau di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, menunjukkan grafik penurunan sekitar 80 persen pada 2019 dibanding tahun sebelumnya.
Menurut pelaku usaha pertanian tembakau, Widodo, tren itu terlihat di wilayahnya yang selama bertahun-tahun dikenal fanatik bercocok tanam tanaman penghasil daun untuk bahan baku rokok tersebut.
"Tahun lalu harga tembakau jatuh parah saat panen raya. Makanya tahun ini banyak yang beralih ke tanaman buah ataupun sayuran," kata Widodo di Tulungagung, Ahad (6/10).
Di Desa Gempolan, misalnya, dari sebelumnya luasareal pertanian tembakau mencapai 100 hektare lebih, kini diperkirakan hanya sekitar 15 hektare.
"Jumlah petaninya juga susut banyak. Tahun lalu mungkin ada 500 petani menanam tenbakau, sekarang sampai 100 (petani) saja sudah bagus," katanya.
Dia mengatakan harga tembakau yang jatuh hingga kisaran Rp 47 ribu - Rp 52 ribu/kilogram, untuk jenis super, sudah dirasa berat bagi petani. Apalagi untuk kualitas sedang yang harganya lebih rendah lagi, di kisaran Rp 42 ribu per kilogram.
"Petani banyak yang rugi, trauma, dan kemudian memilih beralih ke komoditas lain. Mulai menanam tanaman buah semangka, melon, kubis, lombok ataupun lainnya ya g produktif, menjanjikan dan minim risiko," katanya.
Namun, menurunnya jumlah petani serta luas lahan pertanian tembakau saat ini juga menjadi keuntungan bagi petani yang bertahan di komoditas tembakau. Saat ini harga tembakau, khususnya yang telah kering dan dirajang halus, rata-rata stabil di kisaran Rp 60 ribu hingga Rp 65 ribu per kilogram.
Sementara itu untuk tembakau rajangan kering kualitas sedang dijual dengan harga di kisaran Rp52 ribu - Rp55 ribu per kilogram.
"Untuk yang kualitas biasa atau tembakau 'sogleng' (tembakau hasil petikan daun semaian baru pascapanen), dijual dengan harga Rp 30 ribu per kilogram," kata Widodo.