Ahad 06 Oct 2019 17:35 WIB

Penebang Hutan Disebut Lebih Percaya Pamali Ketimbang Hukum

Masyarakat diminta untuk mematuhi hukum formal untuk kelestarian hutan.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Nur Aini
Foto udara kawasan hutan lindung di Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (6/11/2018).
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Foto udara kawasan hutan lindung di Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (6/11/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Epi Kusitiawan mengatakan masyarakat lebih mematuhi hukum adat dibandingkan dengan hukum formal mengenai kelestarian hutan. Oleh karena itu, pihaknya mengajak agar masyarakat dapat mematuhi hukum formal selayaknya hukum adat. 

"Dulu sumber mata air begitu oleh masyarakat sangat dihargainya karena dibawa ke alam mistik. Di sana (sumber mata air) itu ada jurig (hantu) dan lain-lain. Kalau nebang (pohon) anaknya bisa gila. Orang-orang itu percaya," ujar Epi, Ahad (6/10).

Baca Juga

Epi mengatakan, aturan dibuat agar lebih teratur. Baik itu hukum formal maupun adat kalau dilanggar dampaknya akan besar. "Tapi yang tejadi saat ini kayu di ebang seperti tidak merasa berdosa," katanya.

Epi menilai, dibutuhkan sinergitas dengan seluruh pihak untuk mengubah mindset masyarakat agar memandang hukum formal mengenai tata ruang sangat sakral selayaknya hukum adat. Misalnya, dengan sektor pendidikan untuk menyadarkan bahwa hukum formal dibuat agar masyarkat lebih peduli pada kelestarian alam. 

"Penyadaran itu memang harus ke sana. Pamali itu kan ada unsur akhlaknya. Nah bagaimana manusia itu untuk menghargai aturan. Aturan itu kan supaya teratur," kata Epi. 

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil angkat bicara mengenai hal tersebut. Menurutnya, masyarakat Jabar harus berpandangan bahwa hukum formal memiliki nilai kesakralan yang senada dengan hukum adat. 

Di Indonesia, tak terkecuali di Jawa Barat memiliki hukum adat sebagai peraturan tidak tertulis yang dikembangkan oleh masyarkat. Istilah pamali (dosa) pun diberlakukan orang tua sejak dulu untuk menyebutkan suatu pantangan yang tidak boleh dilanggar. 

"Nah di Kampung Naga (Tasikmalaya) adalah salah satu contohnya. Disebut pamali melakukan kegiatan di hutan larangan akibatnya sampai sekarang lestari," ujar Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil di Gedung Sate, Kota Bandung, Ahad (6/10).

Menurutnya, tidak jarang masyarakat lebih mematuhi hukum adat dibandingkan hukum formal, khususnya terkait kelestarian alam. Karena itu, Emil berharap masyarakat bisa lebih memahami bahwa hukum secara formal mengenai tata ruang pun tak kalah sakral dari hukum adat. Karena, bila dilanggar dampaknya akan sangat besar. 

"Kadang-kadang kita tidak takut melanggar hukum formal tapi takut kalau melanggar hukum adat," katanya. 

Saat ditanya apakah hukum adat tersebut akan diadopsi menjadi sebuah peraturan gubernur, Emil mengatakan belum memikirkan rencana tersebut. Namun, ia mengajak masyarakat untuk menggali kearifan lokal. 

"Artinya kita harus sering-sering melihat kearifan lokal di dalam melihat masa depan jangan selalu (hukum) formal," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement