REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani tak mau proses pembagian pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) yang terjadi lima tahun lalu terulang pada 2019. Pada 2014, semua jatah kepemimpinan AKD diambil oleh parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang saat itu mendukung Prabowo-Hatta.
Padahal, saat itu PDIP merupakan pemenang dengan perolehan suara terbesar. Puan menganggap kejadian itu luka sejarah masa lalu.
“Yang terjadi lima tahun lalu itu saya berharap dalam proses demokrasi kepemimpinan atau proses DPR yang sekarang ini, saya harap tidak akan terjadi lagi. Itu menjadi luka sejarah,” kata Puan di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Senin (7/9).
Puan tak mau proses demokrasi yang sudah terbentuk selama Pemilu menjadi berantakan. Puan akan memimpin rapat konsultasi dengan seluruh pimpinan fraksi sekaligus membahas soal penentuan alat kelengkapan dewan.
Alat kelengkapan dewan yang diperlukan saat ini yakni komisi-komisi, Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), Badan Legislatif, Badan Anggaran, Mahkamah Kehormatan Dewan, dan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara.
Rapat ini akan menentukan berapa banyak anggota AKD dari setiap fraksi yang akan ditentukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. “Kemudian setiap fraksi akan mendapatkan berapa pimpinan atau anggota yang akan masuk ke dalam setiap komisi,” kata Puan.
Ketua DPP PDIP itu memastikan pembagian kepemimpinan di DPR akan dilakukan berdasarkan UU MD3 yang berlaku saat ini, yang telah direvisi terakhir pada bulan lalu. Puan berharap semua proses penentuan ini bisa dilakukan secara musyawarh dan mufakat antar semua fraksi di DPR.
“Semuanya tentu saja akan mendapatkan porsinya masing masing sesuai perolehan suaranya," ujar dia.