REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) menilai surat utang atau obligasi pemerintah dapat menjadi alternatif pilihan investasi di tengah ketidakpastian ekonomi. Ketidakpastian telah mendorong sejumlah bank sentral menurunkan suku bunga.
"Dalam situasi perlambatan ekonomi global, sebenarnya tidak ada kekhawatiran bagi investor pemegang obligasi karena keuntungannya relatif stabil dibandingkan alternatif lain," ujar Direktur IBPA Wahyu Trenggono ketika dihubungi di Jakarta, Senin (7/10).
Ia mengatakan ketidakjelasan perang dagang, hingga langkah bank-bank sentral dunia menurunkan suku bunga membuat pasar keuangan cenderung bergejolak. Namun, obligasi relatif lebih aman karena pembayaran kupon yang stabil.
"Investor selalu punya pilihan, ditaruh di produk perbankan seperti deposito atau dibelikan obligasi, baik SBN maupun ORI. Katakanlah di taruh dideposito dengan bunga lima sampai enam persen per tahun, dikurangi pajak sekitar 20 persen mungkin bunga riil yang akan diterima sekitar empat persen," paparnya.
Sementara obligasi, lanjut dia, dengan kupon tujuh persen dikurangi pajak sekitar 15 persen dari kupon itu, maka imbal hasil yang didapat sekitar 6,8 persen. Dengan demikian, obligasi masih lebih menguntungkan.
Selain dari kupon, ia menambahkan, keuntungan juga dapat diraih dari penjualan di pasar sekunder. Investor dapat menjual obligasi di atas nilai pari (par value) dari obligasi.
"Itu salah satu yang membuat obligasi tetap menarik dibandingkan opsi lainnya," ucapnya.
Wahyu Trenggono menambahkan, untuk mendorong pasar obligasi lebih semarak, pemerintah diharapkan dapat menyamakan besaran pajaknya. Saat ini investor masih mengalami perbedaan perlakuan pajak obligasi.
"Misalnya, dana pensiun tidak terkena pajak untuk kepemilikan obligasi, tetapi industri reksa dana terkena pajak lima persen, sementara investor institusi terkena pajak 20 persen. Belum lagi sifat pajaknya apakah final atau badan," katanya.
Sebelumnya, Pemerintah resmi memangkas tarif pajak penghasilan yang diterima investor atas bunga surat utang dari dana investasi infrastruktur (DINFRA), dana investasi real estate (DIRE), dan kontrak investasi kolektif-efek beragun aset (KIK-EBA) dari 15 persen ke lima persen hingga 2020, dan 10 persen mulai 2021 dan seterusnya. Relaksasi kebijakan fiskal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) terbaru yakni PP No. 55/2019, yang merupakan pemutakhiran dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 100 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.
Dengan relaksasi itu, maka PPh atas bunga obligasi dari ketiga produk investasi itu setara dengan yang dikenakan atas reksa dana sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 100 Tahun 2013.