REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Adz-Dzahabi memandang Imam Muslim sebagai seorang saudagar yang mempunyai reputasi dan sikap ramah. Ia pun menjulukinya Muhsin Nisapuri (dermawan Nisapur). ''Dia seorang imam al-kabir (imam besar) dan hujjah (ahli pengetahuan Islam) yang jujur.''
Sementara itu, Syekh Muhammad Said Mursi yang mengutip pendapat Muhammad bin Basyar menggambarkan kecemerlangan Imam Muslim dengan mengatakan, ''Penghafal di dunia ini ada empat, yaitu Abu Zur'ah di Ray, Muslim di Nisapur, Abdullah ad-Darimi di Samarkand, dan Muhammad bin Ismail di Bukhara.''
Muhammad bin Basyar menempatkan Imam Muslim setara dengan ulama-ulama besar di zamannya. Ia disejajarkan dengan Muhammad bin Ismail, yang tak lain adalah Imam Bukhari. Disejajarkan pula dengan Abu Zur'ah ar-Razi, seorang kritikus hadis terbesar di zaman Imam Muslim.
Mengenai hubungan antara Imam Muslim dan Abu Zur'ah, Mustafa Azami menjelaskan, Imam Muslim selalu memberikan catatan hadisnya kepada Abu Zur'ah untuk diteliti riwayat-riwayatnya. Setiap hadis yang dia isyaratkan mengandung 'illah atau cacat, sang imam membuangnya. Sehingga, yang dipertahankan hanya hadis-hadis yang sangat populis.
Sikap ini menunjukkan komitmen beliau dalam mengutamakan hadis-hadis sahih menurut para ulama, bukan menurut pendapat pribadinya. Ini juga mencerminkan pribadinya yang rendah hati untuk menerima kebenaran dari orang lain, di samping mengutamakan sikap hati-hati karena menyangkut kepentingan umat.
Tak diragukan lagi bagi Imam Abu al-Shalah (643 H) untuk mengakui dengan jujur bahwa kitab yang paling autentik setelah Alquran adalah kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Pendapat ini kemudian dipopulerkan oleh Imam Nawawi (676 H) dengan memberikan tambahan keterangan, yakni para ulama telah bersepakat dalam masalah itu dan umat Islam pun menerimanya.